Minggu, 30 Mei 2010

Membaca Cerpen Musnah Karya Sreismitha Wungkul

Inti cerita dalam cerpen “Musnah” karya Sreismitha Wungkul (SW) ini adalah seorang wanita BMI di Hongkong sedang mengalami putus cinta dengan kekasihnya, pemuda lokal bernama Yam alias Im, meski si “aku” sudah melakukan aborsi atas usulan Im.

Cerpen ini dibuka dengan jeritan tokoh utamanya, dilanjutkan dengan adegan si “aku” mengejar kekasihnya, Im. Penulis dengan baik menggambarkan kondisi fisik si “aku”, Jantungku berdetak dengan cepat. Nafasku tersengal-sengal, sewaktu mengejar Im. Begitulah SW membuka cerpennya dengan ketegangan seakan hendak menggoda rasa penasaran pembaca.

Seorang pengajar fiksi berujar, “Tak jarang terjadi, cerpen-cerpen yang sering dibuka dengan cerita menarik dengan konflik (ketegangan) yang besar, berikut-berikutnya cerita tidak sanggup mendaki klimaks karena pengarangnya sudah kehabisan tenaga. Tidak semua pengarang sanggup menjaga irama, yang sejak awal ‘telanjur’ menggebu-gebu.”

Ujaran tersebut nyaris terjadi pada cerpen “Musnah” ini jika tidak segera diredam perlahan, meski redaman yang dilakukan SW sangat drastis yakni dengan melakukan usaha “flashback” (kilas balik kejadian) yakni awal perkenalan si “aku” dan Im tapi tanpa alur pengantar yang baik (jeda). Atau baca saja cuplikannya di bawah ini.

"Im..." jeritku sambil terus berlari mengejarnya.
Jantungku berdetak dengan cepat. Nafasku tersengal-sengal. Sosok Im tak kulihat lagi. Terhalang oleh lalu lalang pejalan kaki dan air mata yang mengalir tiada henti. Langkah kaki Im yang panjang, kecepatan berlarinya yang secepat kijang, benar-benar membuatku kewalahan. Akhirnya aku hanya bisa duduk terpekur dipinggir jalan dan menangis sejadi-jadinya.
Perkenalanku dengan Im di sore yang cerah itu, telah membawa perubahan besar dalam hidupku….

Flashback tersebut cenderung mengganggu karena adegan si “aku” mengejar Im, lalu duduk sambil menangis sejadi-jadinya itu seolah-olah masih bertalian alur serta waktu yang sama dengan paragraf berikutnya yang diawali dengan kalimat “Perkenalanku dengan Im di sore yang cerah itu, telah membawa perubahan besar dalam hidupku”.

Penempatan setting waktu “sore yang cerah itu” seolah sama-sama alur ceritanya, antara jeritan, kejaran, duduk, menangis, dan perkenalan. Masalah ini sebaiknya diperhatikan lagi oleh SW.

Perkenalan itu pun memunculkan keganjilan pada tokoh “aku” dan Im. Status kewargaan “aku” tidak jelas, sementara Im atau Yam disebutkan oleh SW, “Im tak pernah memperkenalkan aku pada saudara-saudaranya yang ada di Hong Kong. Bila aku meminta Im untuk main ke rumahnya, ada saja alasan Im tuk menolak permintaanku yang satu ini”. Keganjilan dipertegas dengan beberapa dialog yang menggunakan bahasa Inggris, dan dengan dialog berbahasa yang sama (entah bahasa Mandarin ataukah bahasa isyarat).

Hongkong dan Inggris memperlihatkan nama negara namun asal-usul si “aku” tidaklah jelas. SW menyebutkan dalam omongan “aku”, yang tercuplik, “Kalau kau tak mau kehilanganku, tinggalkan keluargamu. Kita tinggalkan kota ini. Kita pulang ke negaraku!" Memangnya mau pulang negara mana, San?

Jika memang tidak jelas, apa faedah menyebutkan asal-usul Im atau “saudara-saudaranya yang ada di Hong Kong, dan penggunaan dialog memakai bahasa Inggris?

Lantas, sebaliknya, apa faedahnya menyebutkan asal-usul “aku”? Cerpen ini dimulai dengan usaha SW mengaduk perasaan pembaca. Coba baca kembali cuplikannya di bawah ini.

"Im..." jeritku sambil terus berlari mengejarnya.
Jantungku berdetak dengan cepat. Nafasku tersengal-sengal. Sosok Im tak kulihat lagi. Terhalang oleh lalu lalang pejalan kaki dan air mata yang mengalir tiada henti. Langkah kaki Im yang panjang, kecepatan berlarinya yang secepat kijang, benar-benar membuatku kewalahan. Akhirnya aku hanya bisa duduk terpekur dipinggir jalan dan menangis sejadi-jadinya.

Jeritan, detak jantung, nafas tersengal, air mata, kewalahan, dan menangis merupakan suatu kondisi yang dapat mempengaruhi perasaan pembaca. Nah, berkaitan dengan asal-usul kewarganegaraan, bukan mustahil jika asal-usul “aku” pun disertakan untuk menambah bumbu dramatisnya. Bagaimana perlakuan sepihak dari kekasihnya itu dapat membuat kian perih hati “aku” yang adalah perantau di sana.

Pada awal cerpen SW sempat menyebutkan status kedua tokoh itu, “Im juga seorang pekerja migran, sama seperti diriku.” Jika demikian, sebaiknya “aku” juga memiliki asal-usul negara. Oleh karenanya, masih menjadi PR bagi SW mengenai penokohan.

Kemudian, setting tempat. Adegan awal cerpen tidak menyebutkan nama tempat, sedangkan SW menyebutkan tempat pertemuan setelah perkenalan itu adalah taman Victory. Di manakah adegan “aku” mengejar Im yang akhirnya “aku hanya bisa duduk terpekur dipinggir jalan dan menangis sejadi-jadinya” itu?

Setting tempat yang juga kurang menarik karena hanya diterangkan (to tell) dapat dibaca pada cuplikan “Karena rumah kami berjarak sangat jauh”. Seberapa jauhkah “sangat jauh” itu? Dengan kendaraan apa dan berapa waktu tempuhnya?

Alur cerpen ini pun belum tertata rapi. Lihat cuplikan adegan pada awal cerpen.
"Im..." jeritku sambil terus berlari mengejarnya.
Jantungku berdetak dengan cepat. Nafasku tersengal-sengal. Sosok Im tak kulihat lagi. Terhalang oleh lalu lalang pejalan kaki dan air mata yang mengalir tiada henti. Langkah kaki Im yang panjang, kecepatan berlarinya yang secepat kijang, benar-benar membuatku kewalahan. Akhirnya aku hanya bisa duduk terpekur dipinggir jalan dan menangis sejadi-jadinya.

Adegan lainnya yang sangat mendebarkan dalam sejarah hidup seorang perempuan tetapi sangat kurang diungkapkan oleh SW adalah sebagai berikut:
Di meja praktek Dokter illegal, aku harus merelakan anakku dikoyak-koyak dan di paksa keluar dari rahimku. Tak sampai 1 jam, proses aborsi selesai sudah. Di kamar pemulihan, aku menangis sejadi-jadinya.

Sama sekali tidak terlihat suasana hati dan suasana tempat yang menjadi bagian menegangkan (suspens) dalam alur cerpen yang dramatis seperti di awal cerpen. Dan lebih disayangkan lagi, adegan yang semestinya sangat memilukan ini tidak ungkapkan lebih mantap karena berhubungan juga dengan adegan berikutnya.
"San...dua bulan lagi aku menikah. Aku di jodohkan oleh orang tuaku. Aku tak bisa menolak, jika aku menolak, maka aku harus keluar dari keluargaku. Aku..." pembicaraan Im terpotong oleh tangisannya. Im menangis.
"Aku sungguh tak berdaya San" sambungnya.

Lalu kemarahan “aku”. “Dasar laki-laki bajingan! Kau bunuh anakku, kau sakiti jiwa dan ragaku kini kau pinta aku enyah dari negara yang bukan negaramu, syetannn...seharusnya kau mati saja!!!” jeritku sambil menuding mukanya.

Yang selanjutnya muncul hanyalah aksi pertengkaran yang dibumbui dengan kekerasan. Namun tetap terasa datar hingga akhirnya diakhiri dengan cuplikan di bawah ini.
Tapi Im tidak menghentikan langkahnya. Dia terus berlari menerobos kerumunan orang. Tak di hiraukannya teriakkanku yang memintanya tuk berhenti. Dan aku...???

Mungkin maksud SW hendak membuat alur cerpen terbuka dengan sebuah kejutan (surprise) dengan pertanyaan “Dan aku…???” pada akhir cerpen. Tetapi justru sudah dijawabnya sendiri di awal cerita, yaitu “Akhirnya aku hanya bisa duduk terpekur dipinggir jalan dan menangis sejadi-jadinya”.

Bagaimana kesesuaiannya dengan tema “putus asa”? Dengan adanya adegan “aku” mengejar Im, malah tidak menunjukkan adanya keputusasaan, melainkan masih tersisa harapan. Coba baca lagi cuplikannya.

Seketika aku tersadar, kalau Im pergi maka akau akan kehilangan dia tuk selamanya. Padahal jauh di lubuk hatiku, aku masih menyayangi Im. Tapi hatiku yang terluka telah membuatku hampir menjadi gila. Aku selalu menyalahkan Im karena sikapnya yang lembek dan tidak berani mengambil keputusan.
"Immm...tunggu, jangan pergi!"
"Immm..."
Tapi Im tidak menghentikan langkahnya. Dia terus berlari menerobos kerumunan orang. Tak di hiraukannya teriakkanku yang memintanya tuk berhenti. Dan aku...???

Baca lagi, “Seketika aku tersadar”, lalu “"Immm...tunggu, jangan pergi!", kemudian ke awal lagi, "Im..." jeritku sambil terus berlari mengejarnya, hingga “Akhirnya aku hanya bisa duduk terpekur dipinggir jalan dan menangis sejadi-jadinya”. Tersadar, mengejar, dan menangis, sama sekali tidak menunjukkan keputusasaan.

Sekian pembacaan singkat ini. Sebagai pemula atau baru menikmati keasyikan menulis cerpen, SW sudah leluasa mengekspresikan dirinya. Maka dengan terus belajar dari cerpen para cerpenis yang sudah mantap, dan belajar-berlatih sungguh-sungguh serta didampingi buku Pedoman Ejaan Yang Disempurnakan, tidaklah mustahil SW akan mahir menulis cerpen. Semoga!

=============================================================================
=============================================================================

MUSNAH

Cerpen oleh Sreismitha Wungkul

"Im..." jeritku sambil terus berlari mengejarnya.
Jantungku berdetak dengan cepat. Nafasku tersengal-sengal. Sosok Im tak kulihat lagi. Terhalang oleh lalu lalang pejalan kaki dan air mata yang mengalir tiada henti. Langkah kaki Im yang panjang, kecepatan berlarinya yang secepat kijang, benar-benar membuatku kewalahan. Akhirnya aku hanya bisa duduk terpekur dipinggir jalan dan menangis sejadi-jadinya.

Perkenalanku dengan Im di sore yang cerah itu, telah membawa perubahan besar dalam hidupku. Aku dikenalkan pada indahnya dunia percintaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Wajah Im cukup tampan. Hidungnya mancung, dagunya berbelah pinang, alisnya tebal dan matanya sipit. Im juga seorang pekerja migran, sama seperti diriku.

"Hallo...how are you?" sapanya.

"Hai, I'm fine thank's" jawabku.

Kami berjabatan tangan. Kulirikkan mataku pada Lina temanku. Dialah yang membawa Im dan memperkenalkannya padaku.

"My name is Yam, but you can call me Im".

"Oh...my name is San" balasku.

"San...you don't mind if I make friend with you?" tanyanya.

"Ya...I don't mind" jawabku pendek.

"But, my english is not good enough. So if you don't mind, you can teach me and tell me if what I said is wrong". Dia berkata panjang lebar dalam bahasa inggris yang menurutnya belum lancar.

"It's ok, we can learn together" gumamku.

Pertemuan selanjutnya bisa kami lakukan hanya pada hari minggu dan hari libur besar saja. Karena rumah kami berjarak sangat jauh. Tapi komunikasi lewat telpon bisa di lakukan kapan saja dan sesekali telpon dariku tak di angkat oleh Im bila Im sedang sibuk dengan pekerjaannya.

Selang sebulan kemudian, diremangnya suasana taman Victoria, Im mengutarakan isi hatinya.
"San, aku ingin mengatakan sesuatu padamu, tapi kau jangan marah, ya" pintanya sambil menatapku.

"Ya, bilang saja Im. Jangan takut, aku gak akan marah"

"Hmm...aku mencintaimu, San" ucap Im tegas.

"Aku mencintaimu sejak pertama kali kita bertemu" sambungnya.

"Hah!!! Apa kau bilang?" tanyaku seraya menatap kedua belah matanya dan mencoba mencari kejujuran atas ucapannya disana.

"Aku mencintaimu!" tegas Im.

"Maukah kau menjadi kekasihku?" lanjutnya.

"Aku...aku tak tahu Im" jawabku.

"Kenapa San? Apakah aku tak pantas untukmu? Apakah aku terlalu jelek di matamu?" Im memberondongku dengan pertanyaan- pertanyaannya tanpa memberiku kesempatan tuk menjawab.

"Oh, tidak Im" jawabku.

"Justru pertanyaan-pertanyaan itu yang ada di benakku. Dan kau yang harus menjawabnya" sambungku.

"San, bagiku kau adalah wanita tercantik yang pernah ku temui. Kau cerdas,baik hati dan pekerja keras. Wanita sepertimu yang selama ini kucari" Im melontarkan pujiannya padaku. Membuat hidungku kembang kempis karena bahagia, perasaanku serasa terbang jauh di atas awan.

sejak saat itu, kami menjadi sepasang kekasih yang paling berbahagia di dunia ini.
Hubungan kami berjalan dengan mulus. Namun satu hal yang sering membuatku bertanya-tanya. Im tak pernah memperkenalkan aku pada saudara-saudaranya yang ada di Hong Kong. Bila aku meminta Im untuk main ke rumahnya, ada saja alasan Im tuk menolak permintaanku yang satu ini.

Ketika hubungan kami berjalan di tahun kedua, aku mendapat siksaan yang maha berat. Siang itu aku berbincang-bincang dengan Im.

"Im, aku telat datang bulan. Sudah seminggu" ujarku.

"Apa?" Im dengan mimik kaget bertanya padaku.

"Mungkin aku hamil, Im."

"Tunggu...sudahkah kau cek dengan alat tes kehamilan?"

"Belum, ini aku bawa alatnya. Aku ingin memakai alat ini dengan di saksikan olehmu" ujarku sambil mengeluarkan alat tes kehamilan dari tas ku.

"Cepatlah kau lakukan!" Im menyuruhku dengan wajah yang kelihatan gusar sekali.
Tak lama kemudian, aku keluar dari kamar mandi dengan menenteng hasil tes.

"Im...positif, hasilnya positif. Aku hamil"

"Hah??? Wajah Im kelihatan memucat.

Dia menutup wajah dengan kedua belah tangannya. Badannya yang duduk di pinggiran ranjang melorot seperti tak bertulang. Im menangis sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Dan aku hanya bisa menyaksikan semua perbuatan Im dengan hati nalangsa. Sedih sekali kurasa. Lelaki yang kupikir hebat ini, ternyata tak punya nyali. hatiku menangis tapi tak ada setes pun air mata yang keluar dari mataku.

Dengan alasan belum siap jadi seorang ayah, Im menyarankan aku tuk melakukan aborsi. Dan bagaikan kerbau di cucuk hidung, aku hanya manut saja meng iyakan sarannya.
Di meja praktek Dokter illegal, aku harus merelakan anakku dikoyak-koyak dan di paksa keluar dari rahimku. Tak sampai 1 jam, proses aborsi selesai sudah. Di kamar pemulihan, aku menangis sejadi-jadinya.

"Sudahlah San, relakan saja. Kita belum siap punya anak karena kita masih muda" Im berkata lembut sambil mengelus rambutku.

"Anak kita telah mati, Im"

"Ya aku tahu, San. Aku juga sedih"

"Ini jalan terbaik buat kita,San" sambung Im.

Tangisanku semakin menjadi. Penyesalan terbersit di hatiku. Perasaan berdosa memenuhi pikiranku.

"Anakku...maafkan Ibu" ratapku.

Pasca kejadian itu, aku masih meneruskan hubungan dengan Im. Namun kali ini tak semesra dulu. Mungkin aku menyimpan dendam dan sakit hati karena sikap Im yang pengecut. Riak-riak kecil sering terjadi walaupun masih bisa kami atasi. Emosiku labil. Aku menjadi mudah marah dan tersinggung oleh hal-hal sepele.

Ketika hubungan ini memasuki tahun ke 3, Im memberikan sebuah berita yang membuatku diam terpaku.
"San..ada hal penting yang harus kusampaikan padamu" Im berkata lirih membuka percakapan kami sore itu.

"Ya, bicaralah Im"

"San...dua bulan lagi aku menikah. Aku di jodohkan oleh orang tuaku. Aku tak bisa menolak, jika aku menolak, maka aku harus keluar dari keluargaku. Aku..." pembicaraan Im terpotong oleh tangisannya. Im menangis.

"Aku sungguh tak berdaya San" sambungnya.

"Terus, aku bagaimana?" tanyaku.

"Kalau kau mau, hubungan ini terus berjalan walaupun aku beristri. Bagaimana, kau setuju?" Im menyodorkan pilihannya padaku.

"Tidak! Aku tak mau" jeritku.

"Tapi aku tak mau kehilanganmu, San"

"Kalau kau tak mau kehilanganku, tinggalkan keluargamu. Kita tinggalkan kota ini. Kita pulang ke negaraku!" ucapku tandas.

"Tapi..."

"Tapi apa???"

"Tapi aku tak bisa, San"

"Tak bisa ya sudah, kita putus!!!" jeritku lagi.

Pertengkaran sore itu berakhir begitu saja. Tanpa ada keputusan yang baik, karena Im pun tak mau putus dariku.

Hari-hari selanjutnya bagaikan neraka saja buatku. Pertengkaran demi pertengkaran selalu terjadi. kadang di iringi dengan saling menyakiti fisik. Im dengan mudah menamparku, akupun tak mau tinggal diam. Kutampar balik dirinya. Selain tamparan, tak segan Im pun akan mencekik leherku. dan pernah pula dia menyilet tanganku dengan pisau kecil yang selalu dia bawa.Dan bila badan kami sudah berdarah-darah, maka Im akan menghentikan pertengkaran ini dengan sejuta permintaan maaf yang kurasa semakin tiada makna. Pelan namun pasti, Im mulai menjauhiku. Rupanya dia lebih berat terhadap kleluarganya daripada aku. pertengkaran paling besar dan menjadi yang terakhir bagi kami terjadi malam itu.

"San, kita harus putuskan saat ini juga. Aku sudah lelah terus-terusan bertengkar denganmu"

"OK Im, Ku siap menerima keputusanmu!"

"Lebih baik kita berpisah saja. Aku sudah tak bisa lagi hidup denganmu" Im berkata tegas.

"Baiklah kalau itu maumu, Im" jawabku.

"Tapi aku ingin kau pergi dari negara ini" pinta Im.

"Kau pikir siapa kau ini, berani sekali menyuruhku pergi dari negara ini?" geramku.

"Aku takut kau akan menggangggu kehidupanku nanti, San" balasnya.

"Jaga bicaramu, Im"

"Aku bicara yang sesungguhnya,San"

"Dasar laki-laki bajingan! Kau bunuh anakku, kau sakiti jiwa dan ragaku kini kau pinta aku enyah dari negara yang bukan negaramu, syetannn...seharusnya kau mati saja!!!" jeritku sambil menuding mukanya.

"Sabar, San..aku tak mau bertengkar lagi, please!" pintanya memelas.

"Tidak!!! aku tak mau bersabar lagi. Pengorbananku terlalu besar. Aku tak mau berkorban apa-apa lagi buatmu!!!"

"San..." Im berkata lirih. "Tolong aku, San...pahami aku"

"Pergilah kau manusia gila!!! Aklu tak mau melihatmu lagi, pergi!!!" jeritku.

"Baiklah...aku akan pergi San, maafkan aku."

Im berusaha merangkulku, tapi aku menepiskannya. Setelah menatapku dalam-dalam, Im membalikkan badannya dan mulai berlari menjauhiku.

Seketika aku tersadar, kalau Im pergi maka akau akan kehilangan dia tuk selamanya. Padahal jauh di lubuk hatiku, aku masih menyayangi Im. Tapi hatiku yang terluka telah membuatku hampir menjadi gila. Aku selalu menyalahkan Im karena sikapnya yang lembek dan tidak berani mengambil keputusan.

"Immm...tunggu, jangan pergi!"
"Immm..."

Tapi Im tidak menghentikan langkahnya. Dia terus berlari menerobos kerumunan orang. Tak di hiraukannya teriakkanku yang memintanya tuk berhenti. Dan aku...???

============================================================================

Tidak ada komentar:

Posting Komentar