Sabtu, 29 Mei 2010

Membaca Cerpen Di Balik Jeruji Karya Elnisya Mahendra

Inti cerita :
Seorang calon master bidang hukum (“aku”) yang taat beribadah akhirnya menjadi pembunuh, dan dijebloskan ke penjara.

Permasalahan utama/tunggal: Perselingkuhan. Di saat si “aku”, yang berstatus sebagai istri, ibu, dan sedang melanjutkan studi di luar negeri namun rumah tangganya dikhianati oleh suami dan sahabat karib si “aku”.

Cerpen ini dibuka dengan doa dengan sholat subuh tokoh utamanya (“aku”).
Tuhan, bila takdir-Mu telah engkau teteskan kepadaku, kekuatan apa yang bisa membuatku menolaknya? Tidak akan ada, kecuali kepasrahan yang teramat dalam dari mahkluk-Mu yang hanya sebutir pasir diantara laut dan pantai-Mu yang maha luas.

Kulipat mukena dan sajadahku setelah do'a kupanjatkan untuk orang-orang yang aku cintai diawal pagi ini.

Dan dalam paragraf akhir terdapat jeritan histerisnya di balik jeruji penjara.
" Aku telah membunuhnya, aku telah membunuhnya," cercauku. Aku terduduk diatas tikar, gelap semuanya gelap, tak ada titik terang. Tak ada yang membelaku, " Sumpah...! aku tak membunuhnya," aku kembali histeris. Ya Allah, Kau maha segalanya. " Apa artinya aku sekolah hukum, aku tak mampu membelaku sendiri, aku pasrah ya Allah," bisikku lirih. Sementara dua petugas berseragam memandangku dari luar jeruji besi.

Hal yang juga terlintas, rasionalitas (terlebih secara formal-akademis) akhirnya tunduk pada emosionalitas yang dipungkasi dengan “main hakim sendiri”.

Secara substansi, dua sisi bertolak berlakang (kontradiktif/paradoks) tersebut, baik penokohan maupun jalannya cerita, dapat benar-benar terjadi dan terkesan menarik, apabila diolah kembali dengan lebih cermat. Namun persoalan pengkhianatan semacam itu sudah terlalu umum terjadi, dan menjadi cerita, baik kisah nyata maupun fiksi. Adanya jarak terbentang secara fisik-geografis, tidak jarang memunculkan tindak pengkhianatan begitu. Jangankan masalah “jarak jauh”, “jarak dekat” pun bisa bahkan biasa terjadi tindak serupa.

Secara intrinsik, beberapa hal yang, barangkali, cukup menarik untuk dibahas. Untuk aspek “isi”, sudah disinggung sebelumnya.
a. Tema
Jika tema yang diwajibkan adalah “putus asa”, akhir cerpen tersebut tidak menukik pada sikap seorang yang sedang putus asa, melainkan pasrah (aku pasrah ya Allah). Tentu saja kedua kondisi jiwa ini berbeda bahkan bertolak belakang. Putus asa jelas bukan pasrah, dan cenderung dianggap sikap negatif (putus harapan), dan bisa diteruskan dengan tindakan yang destruktif (merusak). Sedangkan pasrah (pasrah kepada Allah) bukan sikap putus asa, melainkan masih adanya suatu pengharapan (kepada Allah untuk suatu hal yang Allah lakukan kemudian).

b. Penokohan
Dalam cerpen, tokoh-tokoh yang ditampilkan tidak pernah sia-sia alias sekadar numpang lewat.
- “Aku” sebagai seorang istri (suaminya bernama Ilham), ibu (anak mereka bernama Bella), dan mahasiswa pascasarjana yang baru satu tahun melanjutkan studi di luar negeri.
- Ilham, suaminya si “aku”
- Bella, anak tunggal “aku” dan Ilham, dan kini berusiudah itukah anak berusia 5 tahun.

Benarkah dalam kurun waktu satu tahun saja, perubahan jiwa dapat mudah terjadi dalam satu keluarga kecil? Benarkah hanya si “aku” yang benar-benar tidak mengalami perubahan jiwa setelah berpisah selama satu tahun; tetap kangen? Tidak adakah ikatan batin yang mendalam antara ibu (“aku”) dan anak kandungnya (“Bella”) yang sudah bisa berpikir-berasa. Semudah itukah anak berusia 5 tahun menganggap ibu kandungnya biasa-biasa saja lantaran selama satu tahun dekat dengan teman karib ibunya? Apakah selama satu tahun tersebut si “aku” tidak pernah menelpon (berkomunikasi dengan) suami dan anaknya untuk tetap menjaga jalinan kekeluargaan sejati?

Sebagai tokoh utama (“aku”) yang melek hukum, persoalan perselingkuhan hingga perceraian tidak sedikit pun dicerna-diselesaikan sesuai kemampuan akademisnya, apalagi calon master bidang hukum. Di sini si “aku” memiliki kekurangan secara optimal dalam penokohan.

- Ibunya si “aku”
Tidak ada sedikit pun keterangan mengenai status “ibu”-nya; sejak kapan menjanda, ataukah kebetulan ayah si “aku” sedang berdinas di luar daerah. Ketika hal semacam ini kurang diolah, sama sekali tidak memberi kesan keharuan yang dapat memperkuat isi cerpen.


c. Alur
- Cerpen ini tidak konsisten mengelola alur. Awalnya ditampilkan alur yang lambat dan khidmat (proses usai sholat), tetapi berikutnya dipercepat dengan tenaga dari mesin jet pesawat terbang, lantas diperlambat dengan tenaga kerbau.
- Persoalan awal, yakni terpaksa harus pulang ke Indonesia besuk, memenuhi permintaan ibu, yang dapat memancing rasa penasaran pembaca, terlalu lambat (dalam paragraf ke-5) ditampilkan.
- Ketegangan (suspens) pertama pada komunikasi interlokal yang lantas menyuruh si “aku” lekas pulang terkesan dibuat-buat. Apakah hanya itulah komunikasi yang terjalin selama satu tahun?
- … dan entah dari mana datangnya dia telah menggenggam gunting. Ya Tuhan dia mau membunuhku, dia semakin kalap saja, aku-pun tak kalah. Dia coba menikamku, tapi semua luput dan dia terjatuh.

Seperti dalam arena pertandingan akulah pemenangnya, dia tak bergerak lagi. Apa yang sebenarnya dengan dia, kucoba dekati Viona yang jatuh tengkurap dilantai dan " Ya Allah, Vio.. bangun, Vio kau tak apa apa kan?" panggilku panik. Gunting yang tadi dipegangnya menancap di jantungnya, darah melebar membasahi lantai.

Si “aku” mendadak merasa menjadi pemenang begitu melihat Viona luput menikamkan gunting ke tubuh “aku”, lalu terjatuh, dan tidak bergerak lagi. Tidak erangan atau petunjuk apa-apa jika ternyata “senjata makan tuan”.

- Cerpen ini memakai alur tertutup : Di Balik Jeruji Penjara. Sayang sekali “jeruji” penjara diolah terlalu sederhana, yaitu sekadar menjadi akhir cerpen. Sama sekali tidak memberi peluang pada kemungkinan yang lain, atau mungkin dengan suatu tragedi miris.

d. Setting waktu
- Awalnya dari sholat subuh di musim summer. Kegiatan cukup rinci ditampilkan. Pagi masih menyisakan hawa sejuk walau summer sudah diambang pintu. Dan besok pagi si “aku” akan pulang ke tanah air. Tanpa ada kegiatan siang, sore, maupun malam, tiba-tiba saja diantara gundah dan bahagia kuberangkat pagi ini ke bandara Schiphol menggunakan Metro Lijn 51.
- Hari ini adalah hari libur kami, bahkan sampai dengan satu bulan mendatang aku telah mengajukan cuti kuliah. Kalau hari libur bahkan sampai satu bulan, mengapa harus mengajukan cuti kuliah? Cuti kuliah itu bisa satu semester atau sekitar lima-enam bulan. Tidak cukupkah libur satu bulan sehingga harus mengajukan cuti kuliah ?

e. Setting tempat
- Suasana tampak lenggang saat kumasuki rumah berarsitektur joglo itu.
Berarsitektur joglo, jelas untuk menunjukkan rumahnya berada di Jawa. Tapi benarkah “rumah kampung” selalu berarsitektur jogla? Apakah arsitektur joglo itu? Apakah ciri-cirinya? Dan, kalau sebuah rumah berarsitektur joglo namun berada di daerah Kalimantan, bagaimana?
Kalau disebutkan rumah berarsitektur joglo, bagaimana arsitektur apartemen si “aku” dan bangunan-bangunan lainnya?

f. Lain-lain
- " Aku telah membunuhnya, aku telah membunuhnya," cercauku. Aku terduduk diatas tikar, gelap semuanya gelap, tak ada titik terang. Tak ada yang membelaku, " Sumpah...! aku tak membunuhnya," aku kembali histeris.

“Aku telah membunuhnya”, dan “aku tak membunuhnya”, apakah ini disengaja, atau memang keteledoran saja?

***********************************
GN rasa cukup itu saja kesan pembacaan terhadap cerpen Di Balik Jeruji karya Elnisya Mahendra. Disarankan lagi, cobalah menggunakan buku Ejaan Yang Disempurnakan. Tak kalah pentingnya pula, segi hukum (memperkuat penokohan) dan arsitektur (memperkuat setting tempat).

Mohon maaf apabila kualitas kesan pembacaan ini sangat jauh dari kata baik.

==========================================================================
==========================================================================

DIBALIK JERUJI
Oleh Elnisya Mahendra
Tuhan, bila takdir-Mu telah engkau teteskan kepadaku, kekuatan apa yang bisa membuatku menolaknya? Tidak akan ada, kecuali kepasrahan yang teramat dalam dari mahkluk-Mu yang hanya sebutir pasir diantara laut dan pantai-Mu yang maha luas.

Kulipat mukena dan sajadahku setelah do'a kupanjatkan untuk orang-orang yang aku cintai diawal pagi ini. Kulirik Amel yang masih tidur di ranjang, dengkur lembutnya seirama dengan naik turun dadanya. Amel adalah gadis Batak teman satu apartemen, bahkan satu kamar denganku. Aku tak tega membangunkannya, semalam dia pulang larut dari tempat kerja paruh waktunya, yaitu sebuah coffe shop yang berjarak hanya 2OO meter dari apartemen yang kami sewa di Amstervees, sebuah kota yang tidak jauh dari Amsterdam di Holandia utara.

Keberadaanku disini bersama Amel dan dua teman lainya, karena kami sama-sama mendapatkan bea siswa di Universiteit Van Amsterdam. Sebuah Universitas yang aku idamkan sejak aku kuliah di fakultas hukum di UGM dulu. Kekagumanku pada pada Sutan Syahrir seorang sosialis yang menentang para kapitalis membuatku teropsesi untuk mengajukan bea siswa disini, dimana Sutan Syahrir pernah mengenyam pendidikan.

Tahun lalu kutinggalkan mas Ilham suamiku bersama Bella Ayudya anakku yang kini telah berumur 5 tahun. Alhamdulilah mas Ilham mendukung program master yang aku ambil, walau aku harus meninggalkan tugasku sebagai istri dan ibu buat Bella. Bahkan sanggup aku tinggalkan dalam waktu lama. Untung saja ada ibu yang mau membantu menjaga Bella.

Pagi masih menyisakan hawa sejuk walau summer sudah diambang pintu. Aku biarkan Amel tidur sepuasnya. Hari ini adalah hari libur kami, bahkan sampai dengan satu bulan mendatang aku telah mengajukan cuti kuliah. Itu karena aku terpaksa harus pulang ke Indonesia besuk, memenuhi permintaan ibu. Apalagi aku sudah kangen dengan bidadari kecilku yang bermata bening, berbibir mungil. Ah... Bella mirip sekali mas Ilham, rambutnya juga sama mengombak seperti ayahnya.

Kuberjalan keluar kamar menuju dapur, perutku telah merindukan sesuatu untuk pengganjalnya. Kuseduh secangkir kopi instan dan ditemani 2 lembar roti plus keju. Aku lempar pandanganku ke luar jendela, dimana kehidupan di Amstervees sepagi ini sudah sedemikian sibuk. Simpang siur Metro Lijn dan Tram Lijn di depan apartemen. Ya...mungkin seperti juga simpang siurnya hatiku saat ini, selalu dalam tanda tanya.

Seminggu yang lalu ibu telepon dengan tangisnya " Tanti, pulang dulu ya nduk, ibu kangen," suara ibuku dari seberang sana. " Ada apa bu, kok tidak biasanya ibu telpon sambil nangis gitu?" jawabku. Tapi tangis ibu semakin menjadi, " Pokoknya kamu pulang dulu nduk, nanti kamu akan tau sendiri, dan bisa dirundingkan bagaimana baiknya," lanjutnya. Aku tak bisa menolak lagi permintaan ibu. Lalu kucari celah kesibukan di kampus agar aku bisa minta izin cuti. Namun pertanyaan demi pertanyaan menggelayut di otakku.

Amel keluar kamar dan duduk di seberang meja, " Pagi Tanti, kamu jadi besuk pulang Tan?" tanya Amel begitu pantatnya menyentuh kursi. Aku hanya tersenyum mengangguk. " Ada kabar apa sebenarnya dari kampung, kok mendadak gitu?" tanyanya sambil melangkah pergi. Aku masih termangu menatap keruwetan lalu lintas di bawah aparteman. Sepertinya aku harus segera beranjak ke kamar mandi, mengguyur tubuh letihku, rencananya aku akan pergi ke Winkel Centrum, pusat perbelanjaan di Amstervees membeli oleh-oleh untuk Bella. Sudah tak ada waktu lagi, besuk aku harus pagi-pagi berangkat, jadwal penerbanganku jam 12 siang waktu setempat.

Diantara gundah dan bahagia kuberangkat pagi ini ke bandara Schiphol menggunakan Metro Lijn 51. Ini pertama kalinya aku pulang, sejak setahun lalu tinggal di Amstervees. Sampai di Airport langsung cek in di Malaysia Airlines. Sungguh begitu jengah rasanya meredam berbagai pertanyaan dalam hatiku. Aku memang selalu tak bisa dalam keadaan penasaran.

Kepenatan dalam pesawat, lebih dari 15 jam dari Amsterdam - Jakarta dan sempat transit di Kuala Lumpur, kini tertebus sudah. Aku menghirup kembali oksigen tanah airku, seperti sebuah oase yang kutemukan selama 1 tahun kucari di Holand walau di sana sejuk. Sampai di Jakarta pukul 8.1O pagi, perjalanan ini kulanjutkan ke Jogja setelah sebelumnya aku membeli tiket sebuah maskapi penerbangan. Waktu tempuh Jakarta- Jogja yang hanya setengah jam memungkinkan aku tak terlalu sore sampai rumah.

" Ah... Jogja masih seramah dulu," gunamku ketika kujejakkan kaki keluar bandara. Dengan taxi aku menuju terminal, kupilih bus ber-AC yang akan membawaku ke Magelang tempat dimana aku dilahirkan. Yang jelas aku ingin segera menemui ibu, Bella dan mas Ilham. Kubayangkan Bella begitu lucunya, akan memelukku nanti. Tentu gadis kecilku akan gembira nanti saat aku keluarkan boneka Hello Kitty yang sempat kubeli kemarin di Winkel Centrum.

Suasana tampak lenggang saat kumasuki rumah berarsitektur joglo itu. Entah pada kemana semua, tak kutemukan Bella, ibu dan mas Ilham. Tapi pintu rumah terbuka, mungkin Bella lagi keluar jalan dengan papanya. Aku memang tak memberitahu mereka bila aku akan pulang hari ini. Biar menjadi kejutan buat mereka bertiga. Kulongok kamar ibu, " Ya Allah, ibu...!" jeritku. " Apa yang terjadi bu, dimana Bella dan mas Ilham, kenapa mereka tak menunggui ibu disini? Kemana mereka, kemana bu?" pertanyaanku bertubi-tubi pada tubuh membujur di ranjang itu. Sementara wanita renta yang tak lain adalah ibuku itu menangis, berusaha memelukku. " Ya Allah apa yang terjadi?" pertanyaanku selalu berulang ulang. Aku hampir tak percaya dengan kenyataan di hadapanku. Bukankah seminggu yang lalu ibu telpon katanya baik-baik saja, juga mas Ilham 3 hari yang lalu mengabarkan juga semua dalam keaadan sehat, kenapa dia tak bilang kalau ibu sakit? Entah setan mana yang akirnya menyulut api kemarahanku.

Ketika hatiku telah mampu aku kendalikan dan ibu mampu meredam tangisnya, mulailah mengalir cerita yang membuatku seperti kejatuhan benda yang berton-ton beratnya. Membuat aku lunglai terlempar pada negeri asing nan tandus tanpa kehidupan. Ya Tuhan benarkah apa yang aku dengar? Aku tak bisa bersabar lagi, kusambar tas punggungku dan aku pamit pada ibu. " Tanti, kau harus sabar nduk, hadapi dengan lapang. Ibu percaya engkau tak akan berbuat nekat, namun saran ibu, kendalikan emosimu. Banyak-banyak Istigfar, ibu yakin semua akan terselesaikan," tutur ibu sambil air mata itu merembes kembali dari matanya yang tua. " Doakan Tanti ya bu?" pamitku sambil kucium tangan ibu.

Dari sebuah alamat yang ibu berikan tadi, kutemukan rumah berpagar besi tak terkunci. Tanpa ijin pemiliknya aku masuk. " Bunda, bundaku pulang," teriak gadis kecil yang tak lain Bella anakku. Aku segera menyambut dengan bentangan tanganku untuk memeluknya. Aku dekap erat bidadari kecilku, aku ciumi wajah, kening, rambutnya, dan apa saja yang aku temui saat itu. Airmataku tumpah, aku tak tau apalagi yang akan aku ucapkan untuk keharuan ini.

Sore menjelang magrib telah membuat suasana ini lebih terdramatisir tak habis habisnya air mataku mengalir. Beberapa menit kemudian muncul dari pintu depan, sosok perempuan yang tak asing lagi buatku, dia Viona sahabat karibku, yang ternyata diam diam telah menjadi WIL mas Ilham. Dari cerita ibu, mereka menikah di bawah tangan 2 bulan lalu dan membeli rumah ini. Yang tak bisa aku maklumi kenapa harus membawa Bella ikut serta tinggal bersama mereka. " Bunda, itu mama Viona, kita akan tinggal bersama nanti," kata Bella polos. " Selamat datang Tanti, kenapa tak memberi kabar lebih dulu? Aku dan mas Ilham bisa menjemputmu," katanya Viona yang buatku adalah penghinaan. " Gak perlu, aku datang hanya akan membawa Bella pergi, kau tak usah cerita apa apa, tak usah punya alasan apa apa untuk menguasai anakku, cukup kau kuasai Ilham saja. Aku iklas, ambilah semua kecuali Bella," teriakku padanya, aku sudah benar benar marah.

Sepertinya aku tidak perlu berdebat dengan Viona, toh semuanya telah jelas. Aku sudah tidak ingin mempertahankan rumah tanggaku lagi dengan mas Ilham. Aku hanya ingin membawa pulang anakku. Kugendong segera Bella, aku ingin cepat cepat berlari dari rumah si jahanam itu. Namun Viona menghalangiku. " Sorry Tanti, Bella adalah hakku, mas Ilham menyerahkannya padaku untukku jaga. Kau tak perlu susah susah menjaganya. Kejar saja karirmu Tan," tutur Viona sambil senyum sinis. Kutampar wajah itu, wajah sahabatku yang manis namun kini menjijikkan. Namun Viona balik menamparku. Kuturunkan Bella dari gendonganku, bocah kecil itu tampak ketakutan di pojok. Sementara adu mulut antara aku dan Viona tak bisa kuhindari.

" Sampai mati kau tidak akan aku ijinkan membawa Bella pergi, dia anakku," teriak Viona. Dia mulai membabi buta menjambak rambutku, mencakar lenganku, aku tidak kalah sadis saat dengan segenap kekuatanku kutendang perutnya yang katanya telah mengandung janin mas Ilham, aku tak peduli, aku sudah benar-benar sakit hati. Viona terhuyung, sepertinya dia kesakitan dengan tendanganku tadi, dan entah dari mana datangnya dia telah menggenggam gunting. Ya Tuhan dia mau membunuhku, dia semakin kalap saja, aku-pun tak kalah. Dia coba menikamku, tapi semua luput dan dia terjatuh.

Seperti dalam arena pertandingan akulah pemenangnya, dia tak bergerak lagi. Apa yang sebenarnya dengan dia, kucoba dekati Viona yang jatuh tengkurap dilantai dan " Ya Allah, Vio.. bangun, Vio kau tak apa apa kan?" panggilku panik. Gunting yang tadi dipegangnya menancap di jantungnya, darah melebar membasahi lantai. Aku semakin panik, kucabut gunting itu, aku rasa Viona masih hidup. Dari depan pintu mas Ilham menjerit dan menamparku. " Kau telah membunuhnya," tuduhnya.

" Aku telah membunuhnya, aku telah membunuhnya," cercauku. Aku terduduk diatas tikar, gelap semuanya gelap, tak ada titik terang. Tak ada yang membelaku, " Sumpah...! aku tak membunuhnya," aku kembali histeris. Ya Allah, Kau maha segalanya. " Apa artinya aku sekolah hukum, aku tak mampu membelaku sendiri, aku pasrah ya Allah," bisikku lirih. Sementara dua petugas berseragam memandangku dari luar jeruji besi.

Tsuen-Wan, 27 Mei 2O1O.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar