Minggu, 06 Februari 2011

buku kumpulan cerpen pertama

BUKU : KUMPULAN CERITA PENDEK

JUDUL : DI BAWAH BAYANG-BAYANG BULAN

ISI : 12 CERITA PENDEK

KARYA : AGUSTINUS “GUS NOY” WAHYONO -- SI BUKAN SIAPA-SIAPA

TEBAL : viii + 106 HALAMAN

UKURAN : 14 CM X 21 CM.

SAMPUL : SOFT COVER

CETAKAN : I

TAHUN TERBIT : 2011

PENERBIT : ABADI KARYA, BALIKPAPAN (INDIE BOOK)

HARGA BUKU + ONGKOS KIRIM RP.35.000,-


Di tangan Gus Noy, realitas fakta dan imajinasi fiksi bisa saling menyalip tanpa harus ada batasan. Logika cerita, yang biasanya dipertahankan untuk konsistensi gaya, menjadi tidak penting. Antara realitas fakta yang betul-betul digarap secara realis, dengan perwujudan metafora yang merupakan simbol di balik fakta, bisa saja digarap dalam satu medan cerita tanpa harus ada penghubung logika yang jelas. Batasan antara teknik realis dan teknik surealis, menjadi tidak penting. Imajinasi pembaca diajak untuk mengabaikan aturan keduanya. (Kata Pembuka “Imajinasi Tanpa Tepi” oleh Joni Ariadinata)


Potret realitas yang disampaikan dengan meminjam peran Oji, dalam cerita-cerita Gus Noy, mungkin sebuah cara cerdik untuk tidak menyinggung perasaan siapa pun. Hampir dalam seluruh cerita pendeknya yang terhimpun dalam buku “Di Bawah Bayang-Bayang Bulan” ini mengandung ironi. Sang pengarang menyuguhkan suasana satire, sedikit sarkasme, dengan sisipan absurditas yang membuat kita terbawa arus imajinasinya dan – terkadang – berakhir dengan kejutan yang mengundang senyum. (Kata Penutup “Peran Oji untuk Sejumlah Kritik” oleh Kurnia Effendi)


Sekilas Kata Kawan-Kawan Lainnya :


MENARIK: membaca Oji yang membuat akucerita patah hati di satu cerpen dan masuk penjara di cerpen yang lain! (Bonari Nabonenar, sesama pengarang, tinggal di Surabaya)


Oji bermonolog tentang kehidupan sehari-hari. Kadang ironi sosial membuncah di sela-sela naluri gaib. Prosa yang memungut era kekinian tanpa lipstik yang berkecambah, tanpa bertendensi menjadi übermensch. Oji, tetap Oji, Sang Pencatat lingkungan. (Sigit Susanto, penulis buku “Lorong-Lorong Dunia”, tinggal di Swiss)


Barangkali secara sederhana bisa saya katakan bahwa Gus Noy sedang berusaha berbicara tentang realitas kerakyatan dengan bahasa rakyat; baik rakyat sastra pun rakyat luas pada umumnya. Kira-kira tawaran apa yang lebih baik daripada itu? (Wahyudianto “Cak Bono” Sonybono Didik EW, moderator milis Apresiasi Sastra, dan alumni Bahasa dan Sastra Inggris Universitas Negeri Surabaya)


Cerpen-cerpen Gus Noy kebanyakan menyajikan aneka paradoks sosial dan ironi kehidupan dengan cara yang menarik, getir dan dalam. Kelebihan Gus Noy adalah kejujurannya bertutur tidak terjebak pada klise dan kenaifan. Dengan simbol-simbol dan metaforanya, Gus Noy tetap menjaga unsur “sastra” dalam cerita-ceritanya, namun para pembaca yang awam sekalipun saya kira masih dapat dengan mudah memahami amanat dari cerita-ceritanya. Boleh dibilang, Gus Noy adalah salah satu dari sedikit sastrawan Indonesia yang berhasil mengawinkan “sastra serius” dan “sastra pop”. (Iwan “Bung Kelinci” Sulistiawan, penulis buku “Miskin Tapi Sombong”, dan dosen STBA LIA Jakarta Selatan)


Perpaduan realitas fiksional dalam cerpen Gus Noy terasa menyegarkan dengan kesukaannya menampilkan semangat kebermainan yang konyol tapi menggemaskan. (Donny Anggoro, penulis buku “Sastra yang Malas”, novel “Cimera”, kumpulan cerpen “[…] dan Cerita-Cerita Lainnya”, tinggal di Jakarta)


Cerita-cerita Gus Noy memotret persoalan sosial-politik dalam bahasa yang lugas tapi tajam. Tanpa tendensi berlebih, justru dengan hasrat bermain-main namun serius, ia menjalankan strategi literer jitu yang jarang dicoba ‘ceritapendekis’ lain : kisah-kisahnya hadir kepada kita bagaikan karikatur (estetis, pedas terkadang kocak). (Sunlie Thomas Alexander, cerpenis & periset Parikesit Institute Yogyakarta)


Saya rasa, Gus Noy termasuk cerpenis yang tidak tergoda pada euforia para cerpenis muda kita yang latah memuja pencanggihan linguistik. Gus Noy tetap menulis dengan bahasa yang wajar-wajar saja. Persoalan yang diangkatnya pun cenderung persoalan kemanusiaan sehari-hari, yang kebanyakannya diceritakan dengan irama datar. Ia seperti pencerita yang berdarah dingin. Bagi beberapa orang, cerpen-cerpen datar semacam ini mungkin dibilang kurang filosofis, kurang mengeksplorasi psikologi tokoh atau psikologi peristiwa, kurang dalam, atau apalah. Namun, kedataran cerita dan/atau kedataran cara bercerita adalah juga sesuatu yang sah dan memiliki kelebihannya tersendiri. (Amien Wangsitalaja)


======================================================

======================================================


Buku dapat dipesan langsung pada :

GUS NOY BALIKPAPAN (087812294466)

ALI AKBAR BANGKA (081377991655)



Jumat, 18 Juni 2010

Membaca Cerpen “Gejala!” Karya Wendoz K. Ponpong

Unsur-unsur dalam sebuah cerita adalah tokoh, alur, latar, waktu, suasana, dan lain sebagainya. Gumam dan dialog merupakan upaya menghidupkan tokoh dan cerita. Juga lainnya, semisal ketegangan (suspense). Sementara cerpen merupakan singkatan dari cerita pendek. Dan cerpen merupakan sebuah genre sastra, yang mana sastra merupakan sebuah seni tulis-menulis prosa sehingga bahasa atau kata-kata dalam cerpen seyogyanya diolah semaksimal mungkin agar citarasa susastranya benar-benar dapat dinikmati. Apakah kenikmatan itu nyata atau tidak, tentu saja tergantung kepada subyektivitas pembacanya. Artinya, nilai baik atau buruk, menarik atau tidak menarik suatu karya sastra, bersifat relatif-subyektif.

Dengan menyebut relativitas-subyektivitas itu, tak pelak bermuara pada faktor “siapa”; “siapa” yang dituju oleh sebuah cerpen. Kalau sudah berada pada “siapa pembaca” yang hendak dituju oleh penulis cerpen, sifat relativitas-subyektivitas akan lebih jelas. Sebuah karya sastra (baca : cerpen) akan menawarkan “sesuatu” yang citarasanya beraneka bagi tiap-tiap pembaca. Para pembaca bisa terdiri dari sastrawan, pemerhati sastra, peminat sastra, awam, dan lain sebagainya, termasuk latar belakang usia, pendidikan maupun status sosial.

Lantas, mengapa teori konvensional tersebut mengawali kesan pembacaan Gus Noy atas cerpen “Gejala!” karya Wendoz ini ? Sebab, sepatutnya dimaklumi oleh Sidang Pembaca yang terhormat, Gus Noy bukan siapa-siapa alias bukan sastrawan, sarjana sastra, guru sastra ataupun pencipta karya sastra sehingga kesan pembacaan Gus Noy sangat mungkin kurang mantap, tidak akurat, dan cenderung ngawur.

Garis besar dari cerpen “Gejala!” karya Wendoz adalah seputar PILKERUT (Pemilihan Ketua RT) 09 dan situasi paradoks pasca terpilihnya sang ketua RT.

Adalah Abdullah, tokoh utamanya. Dia seorang Sekretaris RT 09 periode sebelumnya. Tokoh lainnya, Prihatin (mantan Ketua RT), Mbah Nyaman (tokoh adat dan tua tengganai di RT 09), dan Ustads Mansyur Al-wahid sebagai Ketua RT 09 yang baru. Sebelum Ustads Mansyur Al-wahid terpilih, terjadi dialog cukup alot antara Abdullah -Prihatin dan Mbah Nyaman. Abdullah-Prihatin mengungkapkan kelebihan-kelebihan seorang Ustadz Mansyur. Mbah Nyaman tidak menerima argumentasi Abdullah-Prihatin karena mata batinnya melihat “ada sesuatu yang buruk” dalam diri Ustadz Mansyur.

Akhirnya Ustadz Mansyur terpilih sebagai Ketua RT 09 berkat tim suksesnya, Abdullah dan Prihatin. Maka mulailah sang ketua RT terpilih melaksanakan tugas dan wewenangnya. Ujung-ujungnya, Abdullah kecewa dan menyesal. Memang benar apa yang diramalkan oleh Mbah Nyaman.

Begitulah garis besar cerpen “Gejala!” karya Wendoz. Selanjutnya, Gus Noy akan mengungkapkan kesan pembacaannya berdasarkan teori dari buku-buku koleksinya (silakan lihat di blog Gus Noy, www.bukuteorisastra.blogspot.com). Sekali lagi patut dicatat, Gus Noy bukan siapa-siapa dalam dunia sastra sehingga kesan pembacaannya pun bukan jaminan apa-apa.

Cerpen ini, menurut Gus Noy, cukup menarik dengan pembukaan sebagaimana tertulis berikut ini.
Bila ku rasakan ia air
Maka akan ku temukan di bumi
Menciumnya di udara, dingin pada tulang

Disusul oleh paragraf yang gurih dan “mantaf” seperti terkutip di bawah ini.

Malam mulai menjadi badai diantara kabut-kabut yang datang dari langit. Sebuah pandang membentur berulang-berulang kemudian meluap menjadi kehampaan puing-puing asing. Sebatas dinding semua menatap apa yang terlihat tanpa bersedia menerima hal yang masih jauh dan menyeluruh. Dulu ia mencintai hal-hal sederhana dan biasa, memandang sesuatu dengan mata lumrah. Masih alami seperti kristal air mata jatuh membelah wajah karena bunga-bunga layu di taman.

Bagaimana menurut pendapat Sidang Pembaca yang terhormat mengenai suasana dan bahasa tersebut di atas ? Berikutnya latar tempat (legenda wilayah RT 09). Pasti sebagian pembaca sepakat dengan Gus Noy, bahwa paragraf itu gurih dan “mantaf”.

Akan tetapi (ini yang seringkali tidak disukai oleh sebagian penulis cerpen yang Gus Noy komentari !), semua isi dalam kedua paragraf awal terlalu bertele-tele alias tidak segera memperkenalkan “persoalan” yang bakal menjadi daya tarik kepenasaran pembaca. Masalah semacam ini seringkali terjadi pada sebagian cerpen yang pernah Gus Noy baca. Cerpen bukanlah permainan kata demi pencapaian bahasa indah tanpa peduli esensinya sebagai sebuah cerita pendek.

Apakah narasi pada paragraf pertama mempunyai hubungan super intim dengan alur cerpen? Kalau paragraf itu dibuang saja, apakah akan merusak isinya ?

Kemudian pada paragraf kedua, susunan kalimatnya sebaiknya diperbaiki. Atau, coba baca kembali seperti tertera di bawah ini.

Tidak ada buta aksara di sini atau orang-orang yang di batasi kemampuan dalam membaca hati. Mencari nurani jauh sampai pulang kampung halaman. Abdullah selaku sekretaris RT 09 di lingkungan desa yang mungil dan terpencil di lereng-lereng gunung di negri seribu cerita rakyat yang melegenda. Seluruh warga di minta berkumpul di puncak bukit bintang . Yang menurut legenda di sinilah para leluhur mereka mengusir roh-roh jahat yang memakan hati manusia. Tapi legenda tetap saja legenda dengan kemajuan teknologi maka pikiran manusiapun sudah diganti dengan cerita Sparta atau cinderela. Karena ketua RT kita yang lama terpaksa pensiun, maka rapat penting dengan atasan di kelurahan memutuskan agar kita mengganti ketua RT yang baru. Karena dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dengan waktu yang amat sangat menjerat leher maka kita adakan penunjukan langsung.

Pada frasa awal “Tidak ada buta aksara di sini”, keterangan tempat “di sini” sangat gelap gulita. Di mana itu “di sini”? Kenapa tidak langsung saja “Tidak ada buta aksara di RT 09 ini”?

Kalimat berikutnya Gus Noy cuplik di bawah ini. Coba baca baik-baik dan tertata.

Abdullah selaku sekretaris RT 09 di lingkungan desa yang mungil dan terpencil di lereng-lereng gunung di negri seribu cerita rakyat yang melegenda. Seluruh warga di minta berkumpul di puncak bukit bintang . Yang menurut legenda di sinilah para leluhur mereka mengusir roh-roh jahat yang memakan hati manusia.

Pada penggalan “ Abdullah selaku sekretaris RT 09…” dan “Seluruh rakyat diminta berkumpul…” menampilkan subyek-obyek yang kacau balau dalam alur. Apalagi dengan kalimat terusannya, yang Gus Noy cuplikan di bawah ini.

Tapi legenda tetap saja legenda dengan kemajuan teknologi maka pikiran manusiapun sudah diganti dengan cerita Sparta atau cinderela. Karena ketua RT kita yang lama terpaksa pensiun, maka rapat penting dengan atasan di kelurahan memutuskan agar kita mengganti ketua RT yang baru. Karena dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dengan waktu yang amat sangat menjerat leher maka kita adakan penunjukan langsung.

Selain itu, penggunaan kata “ketua RT kita”. Siapa “kita” ? Siapa yang mengatakan “kita” ? Dan penggunaan kata “kita” ini berulang lagi di paragraf lainnya.

Masalah selanjutnya, dialog panjang dan ketidakluwesan menggunakan kalimat langsung (pelajaran SD). Imbas dari dialog bertele-tele tersebut adalah alur, latar, tempat, suasana PILKERUT, dan lain-lain.

Bagaimana dengan penggunaan Ejaan Yang Disempurnakan dalam cerpen ini ? Lumayan. Ya, lumayan menyedihkan. Sungguh-sungguh mengingatkan Gus Noy pada tulisan-tulisan awalnya yang tanpa peduli E.Y.D.

Tanpa perlu berpanjang tulisan, kiranya cukup saja kesan pembacaan Gus Noy. Dan untuk lebih jelasnya, silakan simak cerpen “Gejala!” karya Wendoz K. Ponpong di bawah ini.

=============================================================

Cerpen “Gejala!” Karya Wendoz K. Ponpong

Bila ku rasakan ia air
Maka akan ku temukan di bumi
Menciumnya di udara, dingin pada tulang

Ia mencari yang berharga

Malam mulai menjadi badai diantara kabut-kabut yang datang dari langit. Sebuah pandang membentur berulang-berulang kemudian meluap menjadi kehampaan puing-puing asing. Sebatas dinding semua menatap apa yang terlihat tanpa bersedia menerima hal yang masih jauh dan menyeluruh. Dulu ia mencintai hal-hal sederhana dan biasa, memandang sesuatu dengan mata lumrah. Masih alami seperti kristal air mata jatuh membelah wajah karena bunga-bunga layu di taman.

Tidak ada buta aksara di sini atau orang-orang yang di batasi kemampuan dalam membaca hati. Mencari nurani jauh sampai pulang kampung halaman. Abdullah selaku sekretaris RT 09 di lingkungan desa yang mungil dan terpencil di lereng-lereng gunung di negri seribu cerita rakyat yang melegenda. Seluruh warga di minta berkumpul di puncak bukit bintang . Yang menurut legenda di sinilah para leluhur mereka mengusir roh-roh jahat yang memakan hati manusia. Tapi legenda tetap saja legenda dengan kemajuan teknologi maka pikiran manusiapun sudah diganti dengan cerita Sparta atau cinderela. Karena ketua RT kita yang lama terpaksa pensiun, maka rapat penting dengan atasan di kelurahan memutuskan agar kita mengganti ketua RT yang baru. Karena dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dengan waktu yang amat sangat menjerat leher maka kita adakan penunjukan langsung.

“mengapa demikian, kita harus bersikap demokrasi dan musyawarah untuk mencapai mufakat demi kesejahteraan seluruh warga di lingkungan RT kita ini.” Ujar Prihatin selaku mantan RT yang lama.
Saya sangat memahami maksud dan tujuan ucapan bapak, tapi perlu kita ketahui bahwa sebentar lagi ”matahari merah dan bulan redup sinar”. Maka sebelum semuanya terlambat ada baiknya kita yang memperbaiki sebelum orang lain yang ikut campur dan menjadi orang yang serba tahu di RT kita ini. Kita akan di pandang sebelah mata jika tidak mempunyai ketua RT di putaran pemilihan kepala desa kelak.
Tapi apakah tidak ada pilihan lain selain penunjukan langsung, karena saya merasa cara demikian sangatlah absolute dan dictator.”
Bila saja cara lain itu sangat efektif dan efisien tidak menyita waktu warga yang akan segera kembali turun ke sawah, mengapa tidak?

“Bagaimana jika kita becermin kepada RT tetangga yang memiliki system kerajaan atau kesultanan dengan putra mahkota. Bukankah anak saya sudah mencapai umur 18 tahun.”
Sangat menarik sekali pak. Tapi resikonya sangat berat nanti atasan akan menilai macam-macam tentang RT kita. Hal ini akan menghambat pencalonan bapak menjadi kepala desa nanti.
“Baiklah jika ini menyangkut atasan, sayapun tidak akan pernah berani menentang, apalagi atasan yang menguasai kendali. Seperti hokum tidak memiliki taring sekarang.”
Tidak apa-apa pak, yang jelas kita mengalah untuk menang, kita harus fokuskan pikiran dan tenaga dalam pemilihan kepala desa nanti.Penunjukan kepala desapun di lakukan di depan seluruh warga. Saya kira tidak melanggar prosedur.

Semua warga tertumpah di puncak bukit bintang untuk menyaksikan atau sekedar ingin tau siapa ketua RT yang baru. Abdullah berdiri di atas tempat yang lebih tinggi seperti mimbar di tengah-tengah kerumunan warga.

“Saudara-saudara sekalian. Saya akan mengumumkan siapa ketua RT yang baru kita sekarang!”
Seluruh warga gempar dan penasaran, siapa yang akan menjadi pengganti pemimpin mereka. apakah pemimpin yang penuh dengan tanggungjawab dan dapat mengubah nasib mereka atau semakin membuat mereka terpuruk dengan janji-janji yang di bawa hujan kelaut kemudian mengugumpal dengan janji-janji yang lain, maka akan sangat mustahil janji itu akan di ketemukan. Karena janji telah memadu janji.

“Siapa? Apakah hitam atau putih! Apakah bertaring dan berbulu lebat! Atau seperti kucing kelaparan!?” ujar mbah Nyaman.

Abdullah tampak mengerut kening dan menatap dengan tatapan kosong kerena ia hanya menyimpan harapan sebuah pelepasan duka ke sela-sela persembahan seperti ritual yang sering di lakukan oleh leluhur. Rona cemas dan was-was mulai tampak seperti bulan yang di telan gerhana, sesaat sinar hanya mampu melihat wajah dari sisi kedekatan tanpa mampu menyelami bahasa isyarat dari wajah yang berusaha tetap kokoh di ambang kehancuran.

“dia adalah pak ustadz kita, mbah. Seorang tokoh yang cukup di perhitungkan keberadaanya di RT kita ini. Dia adalah semangat baru menuju sebuah masa depan yang bersih dan penuh dengan kedamaian.”

Abdullah! Mbah yakin, dia akan menjadi pemimpin yang gagal. Mbah melihat jurang-jurang menganga menjadi danau raksasa dengan Lumpur panas dan tanah-tanah retak mengalir darah kemudian air yang menenggelamkan rumah-rumah. Mbah memang tidak mengada-ngada, jika memang mau percaya dengan ramalan Mbah maka batalkanlah penunjukan itu. Maka kita semua akan melewati kemarahan dan kutukan leluhur.

“maaf Mbah, sekarang bukan zaman leluhur dan nenek moyang lagi, saya sangat tidak percaya dengan adanya kutukan atau apalah… Yang jelas saya tidak akan membatalkan apa yang sudah menjadi keputusan bersama.”
Bukan begitu pak Prihatin?

Pak ustads itu sangatlah bijak dan bertanggungjawab tanpanya tidaklah mungkin anak-anak kita bisa pandai mengaji. Tidak hanya itu, berkat kegigihan beliau dalam mengelola pengajian di mushola kita yang sempit itu anak-anak kita mampu menembus tingkat nasional dengan musabaqoh dan hapalan al-qur’an. Beliau sosok yang religius yang memimpin selayaknya khalifah, ucapanya seperti salju di telinga dan tatapan matanya dapat menaklukan singa lapar. Lihatlah saat ia berjalan dengar dan rasakan seluruh alam berdoa atas keselamatanya serta wangi keindahan surga dapat kita jumpai pada senyum yang tak pernah habis dan mati. Sesungguhnya akan menyesal jika melewatkan kesempatan yang tak pernah akan datang dua kali, karena dengan penuh kepercayan dan kepasrahan kepada tuhan ia menerima penunjukan ini tanpa syarat dan isyarat.

“prihatin! Aku melihat hutan-hutan kita habis terbakar dan matahari memuas pijar sampai kulit lepuh di badan. Mbah akan bicara saat tanda-tanda itu mulai ada dan terasa. Mbah hanya bisa mengingatkan, itupun kalau di dengar.”

Abdullah makin gamang, ragu-ragu dan basah keringat mendengar setiap kata-kata yang keluar dari mulut Mbah Nyaman. Apa lagi dukun sakti ini memang terbukit keampuhanya sampai keluar desa bahkan kekelurahan. Konon ia memiliki ajian mali’h jiwa, jaran goyang dan semar mesem moyangnya seluruh ajian. Tidak, bukankah sekarang sudah zaman uang, zaman perempuan duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan lelaki, zaman perdagangan bebas, dan zaman para robot, serta teknologi fiber. Tidak sepatutnya ramalan konyol itu berdiri kokoh di pikiranku. Lagi pula pak ustadz bukan orang sembarangan, ia adalah santri terbaik dengan nilai yang gemilang di pesanteren. Ia juga jujur, adil, dan setia dengan ucapan. Jangankan untuk menyakiti sesama manusia, membunuh semutpun ia tak kuasa. Yang jelas pak ustadz adalah pemimpin terbaik sepajang sejarah, ia akan mati dengan air mata yang masih mengambang menjadi sebuah ketidakrelaan. Sudah lama RT ini merindukan pemimpin yang mempunyai keperibadian baik, latarbelakang yang jelas dan rasa keimanan dan ketakwaan yang tebal karena telah di pupuk sejak kecil.

“ hari ini mari kita sambut pemimpin kita!!” ustads Mansyur Al-wahid.
Di mohon kepada bapak Mansyur Al-wahid untuk naik keatas mimbar dan berpidato singkat.”

Saudara-saudara sekalian. Sesungguhnya alam telah di ciptakandengan segala kekuatan dan penuh kecintaan. Dalam nafas yang paling lembut mari kita hirup dengan penuh kesabaran bahwa bumi dan tanah yang kita pijak dalah sebuah anugrah dan amanah. Sudah sepantasnya kita menjaganyan seperti kita menjaga hidup agar terus berjalan sesuai dengan rantai yang akan di putuskan di akhir gugur daun-daun ke tanah dengan sangat lembut bahkan kelelawarpun tak mendengar kapan ia gugur dan kapan ia akan bangkit menuju langit.

Dalam sebuah pencapaian selalu ada batu, ada api, ada air dan ada jebakan. Kemudian semua manusia memahami kekurangan diri dimana kita harus memulai langkah dengan sangat hati-hati dari masalalu yang kelam maka sedikit nurani membuka bahwa hidup bukan kawasan saling menjatuhkan tapi bekerjasamalah dalam meraih sebuah pencapain. Kita akan terus larut dalam kepahitan dan akan di tenggelamkan oleh air mata jika kita masih bahagia menikmati apa itu keterpurukan dan kemerosotan tingkah laku.

Lihatlah tubuh kita luka. Koyak dimana-dimana. Masihkah kau bertanya siapa dinatara kita yang punya nama atas kesalahan ini, mengapa kita tidak sejenak saja masuk kedalam ranah masalah itu. kenapa dan mengapa kita tetap berada di bawah garis kemiskinan dan kegagalan yang tidak pernah habisnya. Bercerminlah pada hati nurani bukan hanya membayangkan betapa diri semakin besar dan akan segera adikuasa. Masa depan ada di tangan kita. Mau kemana kita melangkah, maka kita harus banyak membenahi dan belajar dari kesalahan.

Pidato pemimpin itu di tutup dengan tepuk tangan dan jabat tangan, seluruh warga hanya bisa berharap. Nasibnya akan membaik.

Kepala RT yang baru itu mulai menentukan orang-orang kepercayaan untuk membatunya dalam menyelesaikan suatu tujuan yang masih ngambang. Banyak petugas atau orang-orang lama yang tidak di pakai lagi. Termasuk Mbah Nyaman sebagai tokoh adat dan tua tengganai di RT itu di lepas jabatanya. Belum tiga hari sudah terjadi sesuatu yang luar biasa dahsyat. Kepala RT itu memberikan kabar baru dan gembira kepada warga. Bahwa di RT kita ini akan mengadakan proyek besar pembangunan jalan menuju puncak bukit untuk menebus desa sebelah. Kita akan mlihat betapa hitam dan kuatnya aspal. Tapi seluruh warga dimintai sumbangan dan di minta menyerahkan surat kepemilikan tanah padahal proyek ini program dari kelurahan. Ini adalah tanda-tanda yang terasa dan terbaca oleh Mbah Nyaman. Seluruh warga hanya mampu menelan kepahitan. Ustadz itu telah berubah menjadi seekor srigala ketika menduduki kursi.

Dengan membayar hampir seperempat hasil panen kepada RT setiap bulannya. Seperti zaman kerajaan, rakyat jelata harus membayar upeti. Tapi upeti yang ini beda suasana dan beda warna. Karena upeti ini liar dan di keluarkan berdasarkan hokum rimba. Banyak pihak yang menentang tapi sekali lagi atasan adalah segalanya, seperti pangeran kegelapan saat ia menguasai malam. Warga semakin resah. Bahwa perubahan ini dari lembah menuju jurang, makin terpuruk. Kepala RT itu menjelaskan dengan senyum termanis tapi jelas sekali mata itu mengingkari dan berteriak. Ada sesuatu yang hendak di sampaikan. Ini adalah jeritan luka batin yang selama ini sengaja di sembunykan lalu sekarang sangat kesempatan dalam genggaman. Maka tiada ampun bagimu rakyat jelata. Hanya kepadamulah aku dapat berlaku bebas dan melalap habis hartamu. Abdullah membaca makna mata itu. ia sangat menyesal dan kecewa. Alangkah aku sangat tidak berguna karena hanya mampu terdiam saat seluruh warga di hisap sum-sum tulangnnya sampai kering dan melepas nafas terakhirnya di pelukanku. Pak ustads yang dulu adalah putih bersih sekarang adalah hitam jelaga. Abdullah selalu melihat perubahan pak ustads dengan cara berbeda, ia melihat segala gejala itu dari dalam lingkungan batin sampai sebuah pencapaian. abdullah sangat penasaran maka dengan susah payah dan ribuan kalori terbakar ia menemukan sebuah jawaban dari perubahan pak ustads pasca ia menjadi kepala RT. Jawaban yang berdasarkan logika siapa saja di negeri ini akan berbuat hal yang sama dengan pak ustads. Manusia setengah malaikatpun akan menjelma menjadi pangeran kegelapan jika dalam keadaan tanpa pilihan. Pak ustads memiliki 9 istri dan 33 anak.5 anaknya lagi mengenyang bangku perkuliahan. 9 yang lain lagi duduk di bangku SMA. 10 anak duduk di bangku SMP,3 anak lagi masih TK, 4 orang masih menyusu dan 2 orang anak kembarnya lagi butuh dana untuk operasi Karena lahir dalam keadaan kembar siam(gempet). Semua istrinya ibu rumah tangga dan orang tua pak ustads sendiri selalu mendesak agar segera di hajikan oleh anak sulungnya itu, sedangkan pak ustads sendiri hanya bekerja sebagai petani kecil dan pemimpin pengajian di mushola yang sempit. Siapapun akan menjadi nekad, pikir Abdullah.

Seluruh tanah warga dan tanah kosong milik RT di jual kepala RT itu ke pada perusahaan asing. Dan sekarang seluruh warga resah tanah mereka telah di jaga ketat oleh aparat hukum. Dan bertuliskan “ warga RT 09 di larang melintas tanah milik perusahaan asing.” Masih jaga para leluhur menatap kosong ketanah kelahiran yang tinggal nama. Masih basah darah mereka dulu ia tumpahkan demi merebut tanah jajahan menjadi rumah yang begitu penuh gelisah. Tidurlah selamanya para pahlawan, bumi kecintaan mulai kembali dalam pelukan penjajah.


oleh; Wendoz K. Ponpong
home teater
21 mei 2010

================================================
================================================

TANGGAPAN WENDOZ K.PONPONG
(19 JUNI 2010, 20:47, INBOX FACEBOOK, Dikirim melalui Facebook Seluler)

wah-wah
saya sudah baca komentar bapak..
alangkah bisa membuka wawasan dan meletakkan kekurangan itu menjadi sesuatu yang penting bagi penulis untuk dikembangkan.
saya malu juga, sebagai mahasiswa PEND. BAHASA DAN SASTRA INDONESIA dpet nilai lumayan, lumayan berantakan..
ha..ha..
saya suka yang ini pak..
saya akan tetap membutuhkan buka-bukaan dari bapak untuk tulisan saya yang lain nantinya.
akhir kata saya mengucapkan terimakasih sekali, atas ketersediaannya membuka cerpen saya walau sangat jauh dari sempurna.
terimakasih pak.


===================================================
===================================================

Selasa, 01 Juni 2010

Membaca Cerpen “Hujan Di Bulan Desember” Karya Aliyah Purwati

Hujan di Bulan Desember. Apa yang terbayang dari judul yang cukup menggoda itu? Puitis? Romantis? Puitis nan romantis? Miris? Tragis? Tragis nan miris? Atau, mistis? Apa pun itu, sebaiknya cerpen “Hujan Di Bulan Desember” karya Aliyah Purwati (AP) ini dibaca isinya secara keseluruhan.

Tersebutlah sepasang anak manusia dewasa bernama Indah dan Arya terlibat hubungan cinta via internet, tepatnya jejaring sosial bernama Facebook. Tidak ada petunjuk yang jelas, sejak kapan mereka bercinta via internet. Yang jelas petunjuk waktunya, tanggal 31 Desember mereka bersepakat untuk menyatukan jalinan cinta maya itu tapi dengan syarat “Arya benar-benar datang menemui Indah di Hongkong”.

Kalau ada ungkapan “cinta tidak bersyarat”, lain lagi kalau sampai pada kesepakatan untuk menikah. Boleh-boleh saja cinta tak bersyarat. Tapi tidak demikian dengan urusan pernikahan sebab pernikahan bukanlah urusan sepasang sejoli lalu beres semua. Sebab, pernikahan juga merupakan penyatuan dua keluarga besar. Begitu kira-kira pesan yang hendak disampaikan oleh AP.

Namun, ketika AP mencipta dan menyusun cerpennya, mungkin ada beberapa hal yang masih menjadi PR bagi AP. Mungkin karena terburu-buru atau diburu-buru deadline. Atau, karena masih belajar? Apa pun sebabnya, semoga sedikit ulasan ini dapat menjadi semacam perbandingan dalam berkarya.

***

Dari singkatannya (cerpen adalah cerita pendek), mengisyaratkan bahwa cerita yang tersusun dari rangkaian kata, tanda baca dan seterusnya menjadi kalimat maka semua elemen itu harus menjadi satu kesatuan yang mengikat sebagai suatu cerpen. Semua unsur saling berhubungan di dalamnya, entah itu menggunakan bahasa puitis, ataupun bahasa taktis.

Lantas, apa hubungannya dengan cerpen “Hujan di Bulan Desember” ini? Coba kita lihat bersama cuplikan dua paragraf awal cerpen karya AP seperti di bawah ini.

“Indah, bulan depan aku akan datang ke Hong Kong untuk menjemputmu pulang dan kita menikah,” begitu pesan Arya kepada Indah melalui situs jejaring sosial Facebook. Ya, Arya dan Indah memang saling kenal di jejaring yang ditemukan oleh seorang mahasiswa Harvard bernama Mark Zuckerberg ini. Sejak ditemukan enam tahun lalu, Facebook telah digunakan ratusan juta orang di dunia dan dari hari ke hari semakin digandrungi orang saja. Bahkan kalau sampai tidak dapat mengendalikan diri, bisa ketagihan dan fatal akibatnya.

Bayangkan saja, kita bisa dengan mudah mencari kawan lama, saudara dan lain-lain. Berbagai fasilitas juga ada di situ. Dari sekedar membuat status, komentar bebas, memposting tulisan untuk di-share dengan kawan yang lain, game, chat dan sebagainya. Pokoknya dunia serasa benar-benar tak selebar daun kelor. Demikian-orang biasa menyebutnya. Namun harus hati-hati juga, karena tidak menutup kemungkinan orang akan memanfaatkan situs tersebut untuk hal-hal negative.

Dua paragraf awal ini, apabila disandingkan dengan singkatan cerpen tadi, apakah memang perlu tentang facebook itu dituliskan juga? Sebaiknya tidak perlu dimasukkan dalam cerpen, kecuali sebagai catatan kaki atau keterangan setelah cerpen selesai. Oke?

Ajakan menikah dari Arya sudah bagus karena itu yang memperkenalkan pembaca sebagai cikal-bakal persoalan yang akan menjadi cerita utama dalam cerpen ini. Artinya, persoalan sudah diperkenalkan kepada pembaca sejak paragraf pertama.

Berikutnya, pada paragraf pertama, berkaitan dengan alur, latar tempat, dan waktu, sama sekali tidak menunjukkan kapan ajakan menikah itu disampaikan oleh Arya, dan di mana (di kamar, di ruang baca, atau di mana lagi?) Indah membacanya. Hal ini terutama untuk memperlihatkan hubungan (alur) paragraf tersebut dengan paragraf berikutnya. Coba baca lagi cuplikannya di bawah ini.

Sekitar pukul sebelas malam, pekerjaan Indah telah selesai. Seperti biasa dia langsung masuk kamar, mengunci pintu dan menyalakan laptop. Itu memang sudah menjadi kebiasaan Indah saban malam. Seperti biasanya pula, Facebook adalah website pertama yang dia kunjungi, kemudian setelah itu baru kompas atau pun situs berita lainnya. Ada sepuluh pesan yang masuk dalam inbox nya dan salah satunya adalah pesan dari Arya. Dia kaget bukan kepalang. Matanya yang agak sipit mendadak terbelalak lebar membentuk bola yang sangat besar dan dahinya berkerut sangat rapat.

Itu yang tadi dikatakan “berkaitan dengan alur, latar tempat, dan waktu”. Jangan sampai terjadi kerancuan dengan kalimat pembukaan paragraf ke-3, yaitu “Sekitar pukul sebelas malam, pekerjaan Indah telah selesai. Seperti biasa dia langsung masuk kamar, mengunci pintu dan menyalakan laptop….”

Dalam cerpen cinta yang “khusus untuk orang dewasa” ini sama sekali tidak ada kejelasan “kapan mereka bertemu” dan “mulai bersepakat saling mencintai”. Satu tahunkah, setengah tahunkah, seperempat tahunkah, dan seterusnya. Tidak mungkin sebuah cerita cinta tanpa pemaparan apa-apa langsung mengajak menikah. Di sini terasa sekali ada yang kurang. Sebaiknya AP menuliskan juga di paragraf lain (tidak harus di paragraf pertama) mengenai hal itu.

Selanjutnya, penokohan. (Haduhbiyuh, lagi-lagi penokohan!). Begini. Nyaris tidak jelas, mana tokoh utamanya. Indah ataukah Arya. Lho kok begini?

Pada awal-awal cerpen, terlihat Indah mengambil posisi dominan. Dari paragraf kesatu hingga paragraf keenam (total 17 %), terdapat empat paragraf (12 %) diisi oleh situasi Indah. Yang langsung tercetak dalam pikiran, tokoh utamanya pasti Indah.

Paragraf berikutnya adalah Arya sebanyak dua paragraf atau 7 %. Selanjutnya diisi lagi oleh Indah sebanyak empat paragraf atau 6 %. Disusul lagi oleh Arya dengan jumlah empat paragraf atau 9 % . Berhenti sampai di situ, total prosentasenya: Indah sebanyak 18 %, dan Arya 16 %. Angka yang cukup dekat untuk dua tokoh yang akan dilihat “siapa tokoh utamanya”.

Namun dalam cerpen, persoalan prosentase memang tidak bisa menjadi patokan, kendati angka 18 % dan 16 % sebenarnya sangat mengganggu dalam pengaruh tokoh sebagai tokoh utama. Itu baru untuk sebagian saja. Dan kalau dihitung lagi, dimana jika keseluruhan cerpen adalah 100 % :
1). Indah : 53 %
2). Arya : 43 %
3) Lain-lain (di luar cerpen) : 4%

Paling tidak, perhitungan matematis cukup menarik untuk dilibatkan dalam cerpen ini. Sedangkan patokan utama dalam sebuah cerpen adalah tokoh yang sangat berpengaruh sebagai tokoh utama. Kalau tadi Indah memperlihatkan dominasinya pada awal-awal cerpen tetapi konflik dalam diri Indah ternyata tidak terlalu kuat digarap. Keseharian Indah? Tidak terlihat adanya konflik-konflik kecil atau persoalan yang menghanyutkan, yang berhubungan dengan persoalan utama : “batal kawin” (pinjam judul lagu Project P). Masalah dalam diri Indah hanya pada “usia yang nyaris jatuh tempo”. Hanya? Ya, AP lebih mengutamakan penderitaan fisik si Arya, bukannya mengungkapkan derita psikis-nya Indah yang dicap “perawan tua”.

Sebaliknya, justru cerita tentang Arya dengan narasi dan kambuhnya kanker lambungnya hingga parah, masuk rumah sakit, dan akhirnya mati, ternyata lebih menyita perhatian. Begitu mengharu-biru. Miris dan tragis.

Dalam cerpen ini jelas sekali seolah-olah terdapat dua tokoh utama. Pertama, Indah yang menang dalam hal tampil lebih awal dan jumlah prosentasenya 53 % dari keseluruhan cerpen. Kedua, Arya yang tampil berikutnya dengan total prosentase 43 % dari keseluruhan cerpen namun dalam cerpen ini Arya ditampilkan lebih mengharukan, miris dan tragis.

Menurut teori menulis cerpen konvensional, keberadaan tokoh Arya jelas sudah merusak penokohan utama (protagonist) dalam cerpen. Biasanya keberadaan tokoh utama lebih terasa menyita perhatian, dan tokoh lainnya ditampilkan tidak terlalu dominan dalam prosentase. Namun entahlah dalam teori penulisan cerpen mutakhir.

Yang berikutnya akan menyita perhatian, meski prosentasenya sedikit daripada tokoh utama, biasanya disebut tokoh antagonis atau musuh dari tokoh utama, yang kemudian turut berperan dalam membangun konflik karena selalu menjadi lawan bagi tokoh utama. Tokoh antagonis ini tidak harus manusia. Dalam cerita tokoh Arya, peran antagonisnya adalah penyakit kanker lambungnya, dan itu yang membangun ceritanya menjadi mengharu biru. Sementara Indah? Sudah disebutkan, “konflik dalam diri Indah ternyata tidak terlalu kuat digarap.”

Lepas dari itu, ada hal lain yang sebaiknya dapat menjadi perhatian bagi AP. Yakni, mengenai pemaparan karakter tokoh Arya dapat dilihat dalam cuplikan sebagai berikut:

Meskipun kaya raya, ia tetap rendah hati dan mempunyai sifat dermawan. Ia juga disukai banyak orang
karena keramahan dan kebaikannya pada siapa pun. Dan yang paling penting ia tidak pernah membeda-bedakan antara yang miskin dan kaya. Baginya, semua sama. Sama-sama mahluk ciptaan Tuhan yang harus dikasihi dan disayangi.

Penjelasan tentang karakter tokoh semacam ini seolah-olah penjelasan dalam cerita dongeng mengenai kelebihan-kelebihan tokoh utamanya. Sebaiknya AP mulai menghindari penjelasan karakter tokoh : rendah hati, dermawan, disukai banyak orang, ramah, baik, tidak membeda-bedakan sesama manusia, dan lain-lain. Ini yang namanya “menjelaskan” atau “menerangkan” (telling).

Dalam cerpen dewasa, penjelasan semacam itu sebaiknya tidak ada, kecuali terdapat dalam dialog, bukan narasi. Karakter yang “hebat” itu sebaiknya digambarkan melalui perilaku atau property yang dimiliki oleh Arya, dan biarkan pembaca sendiri yang menangkap kesan karakter Arya yang “hebat” itu. Maka di situlah kreativitas AP tertantang untuk menggarap penokohan secara “penggambaran” atau “pelukisan” (showing), bukan dengan “menjelaskan” (telling).

***

Terakhir, mengenai hubungan antara tema dan cerpen ini, kesan putus asa justru terlihat pada Arya, kendati putus asa itu bukan pada persoalan “batal kawin” (meminjam judul lagu P Project) melainkan pada harapan hidup. Sementara itu, bagaimana dengan Indah pasca kematian Arya? Coba baca paragraf terakhirnya.

Arya telah pergi berlayar. Impian serta harapan telah musnah. Tahun baru pun tinggal impian. Ya, hanya impian! Indah tetap beraktifitas seperti biasanya. Namun kisahnya dengan Arya rupanya kembali menutup hatinya dan trauma itu kembali datang menghantam. Dua kali sudah maut memisahkan cintanya. Dia pun berniat untuk tidak menikah dan memilih memungut anak asuh saja setelah pulang ke Indonesia. Bukan kah itu juga sama dengan berbagi kasih dan juga cinta?

Pada kalimat “Indah tetap beraktifitas seperti biasanya” sama sekali tidak menampakkan gelagat orang putus asa. Mungkin karena keterlibatan emosionalnya dengan Arya hanya sebatas dunia maya. Dan berikutnya, “Namun kisahnya dengan Arya rupanya kembali menutup hatinya dan trauma itu kembali datang menghantam. Dua kali sudah maut memisahkan cintanya. Dia pun berniat untuk tidak menikah dan memilih memungut anak asuh saja setelah pulang ke Indonesia. Bukan kah itu juga sama dengan berbagi kasih dan juga cinta?”.

Kalau cerpen ini beraroma cinta sepasang sejoli serta hendak berujung pada pernikahan, akhir paragraf “memungut anak sama dengan berbagi kasih dan cinta” jelas tidak memiliki hubungan apa-apa karena dari awal hingga mendekati akhir cerpen tidak ada sedikit pun narasi mengenai “cinta/kasih yang lain” dan “keturunan”.

***

Demikian ulasan sederhana ini. Lebih-kurangnya, silahkan Sidang Pembaca terhormat yang mengungkapkannya. Kepada AP, ulasan ini bukan menjadi kemutlakan. Tetaplah belajar, berlatih, dan berpedoman pada EYD.

=============================================================================
=============================================================================

Hujan di bulan Desember

Oleh: Aliyah Purwati

“Indah, bulan depan aku akan datang ke Hong Kong untuk menjemputmu pulang dan kita menikah,” begitu pesan Arya kepada Indah melalui situs jejaring sosial Facebook. Ya, Arya dan Indah memang saling kenal di jejaring yang ditemukan oleh seorang mahasiswa Harvard bernama Mark Zuckerberg ini. Sejak ditemukan enam tahun lalu, Facebook telah digunakan ratusan juta orang di dunia dan dari hari ke hari semakin digandrungi orang saja. Bahkan kalau sampai tidak dapat mengendalikan diri, bisa ketagihan dan fatal akibatnya.

Bayangkan saja, kita bisa dengan mudah mencari kawan lama, saudara dan lain-lain. Berbagai fasilitas juga ada di situ. Dari sekedar membuat status, komentar bebas, memposting tulisan untuk di-share dengan kawan yang lain, game, chat dan sebagainya. Pokoknya dunia serasa benar-benar tak selebar daun kelor. Demikian-orang biasa menyebutnya. Namun harus hati-hati juga, karena tidak menutup kemungkinan orang akan memanfaatkan situs tersebut untuk hal-hal negative.

Sekitar pukul sebelas malam, pekerjaan Indah telah selesai. Seperti biasa dia langsung masuk kamar, mengunci pintu dan menyalakan laptop. Itu memang sudah menjadi kebiasaan Indah saban malam. Seperti biasanya pula, Facebook adalah website pertama yang dia kunjungi, kemudian setelah itu baru kompas atau pun situs berita lainnya. Ada sepuluh pesan yang masuk dalam inbox nya dan salah satunya adalah pesan dari Arya. Dia kaget bukan kepalang. Matanya yang agak sipit mendadak terbelalak lebar membentuk bola yang sangat besar dan dahinya berkerut sangat rapat.

Ia terpaku sejenak. Pikirannya menerawang entah ke mana. Perlahan matanya menatap seluruh isi ruang kamarnya yang berukuran 5 x 5 meter persegi itu. Bisa dibilang agak lumayan nyaman memang untuk ukuran kamar seorang pembantu di Hong Kong. Di situ terdapat sebuah ranjang tingkat, lemari pakaian yang cukup besar, rak buku serta meja belajar lengkap dengan lampu duduknya. Majikan Indah memang tergolong baik, minimal lebih bisa menghargai pembantunya. Di Hong Kong, berapa puluh ribu buruh migrant Indonesia yang dengan terpaksa harus tidur di ruang tamu, di gudang atau bahkan di dapur karena majikannya tidak memberikan fasilitas ruang tidur yang layak? Ah, memang keterlaluan majikan seperti itu.

Indah terus menatap seisi ruangan. Resah dan gelisah semakin menguasai dirinya. Konsentrasi pun buyar tidak karuan. Jangankan untuk menulis puisi, cerpen atau pun arikel dan lain-lain, membaca berita saja dia sudah kalang kabut. Dia bingung antara iya dan tidak sehubungan dengan ajakan Arya untuk menikah. Satu sisi ia masih trauma dengan kekasihnya yang dulu. Ketika mendekati hari H pernikahan, kekasihnya yang bernama Angga tersebut meninggal akibat kecelakaan sepeda motor. Karena itu dia lama tidak berpacaran lagi, bahkan sempat berfikir sebaiknya tidak usah berumah tangga.

Namun kehadiran Arya ini ternyata sedikit mampu mengkoyakkan pikirannya. Paling tidak, ia kembali berfikir untuk berumah tangga di usianya yang kini telah lebih dari 35 tahun. Orang-orang di kampungnya menyebutnya perawan tua, namun ia sama sekali tak mempedulikannya. “Yang menikah kan aku, bukannya mereka. Bodoh amat dengan omongan orang,” ucap Indah sembari memandang wajah Arya di laptopnya.

Arya adalah seorang pengusaha pertambangan kaya di Cilacap. Usianya setahun lebih tua dari Indah. Kulitnya tergolong putih bersih untuk ukuran orang Indonesia yang notabene berkulit sawo matang. Matanya agak sipit, hidung lumayan mancung, tinggi badan sekitar 174 cm, dengan rambut lurus. Meskipun kaya raya, ia tetap rendah hati dan mempunyai sifat dermawan. Ia juga disukai banyak orang
karena keramahan dan kebaikannya pada siapa pun. Dan yang paling penting ia tidak pernah membeda-bedakan antara yang miskin dan kaya. Baginya, semua sama. Sama-sama mahluk ciptaan Tuhan yang harus dikasihi dan disayangi.

Sebelum berprofesi sebagai pengusaha, Arya dulu adalah wartawan di sebuah koran di Solo. Namun karena bapaknya meninggal, maka mau tidak mau dia lah yang harus melanjutkan bisnis keluarganya. Ia anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak perempuannya telah berkeluarga dan mempuanyai beberapa perusahaan di Surabaya. Sedangkan kakak laki-lakinya menikah dengan orang Australia dan menetap di sana. Kontan saja hanya dia yang kini harus sibuk mencari kehidupan sendiri. Dia tinggal di sebuah rumah besar peninggalan bapaknya bersama seorang sopir yang telah ikut bekerja dengan keluarganya selama duapuluh tahun. Tak heran jika mereka sangat akrab, bahkan sudah seperti keluarga sendiri.

Malam semakin larut, jarum jam menunjukkan pukul duabelas dini hari. Indah bergerak merentangkan kedua tangannya sembari menarik nafas panjang. Tubuhnya yang agak kurus dan kecil itu dia gerak-gerakkan ke kanan dan ke kiri.

Tak lama kemudian, matanya kembali menuju ke laptop. “Ah, bagaimana aku menjawabnya ya. Satu sisi aku suka juga ma dia. Tapi satu sisi lagi aku kok agak ragu. Ini kan cuma dunia maya. Orang bisa jadi apa aja di sini. Tapi, ah entahlah,” gumamnya.

Kendati demikian, ia terus berusaha mencari jawaban pada dirinya sendiri. Setelah agak lama bermain dengan perasaan dan fikiran, akhirnya ia menemukan jawaban yang tepat.

“Arya, makasih atas ajakanmu. Tapi ini dunia maya dan aku tak tahu kamu serius atau tidak. Dan aku hanya berfikiran kalau kamu benar-benar datang menemuiku, berarti kamu serius. Tetapi, kalau kamu hanya ngomong doang berarti kamu sama dengan laki-laki hidung belang yang pernah kutemui. Ok Arya, kutunggu kedatanganmu,” demikian balasan pesan yang ditulis Indah untuk Arya. Ada rasa puas setelah membalas pesan tersebut. Beberapa menit kemudian, ia matikan laptop dan beranjak tidur.

Sementara itu di seberang sana, Arya baru saja membuka laptop dan Facebook juga yang menjadi sasaran utama. Dia pun tak sabar membuka pesan yang dikirim oleh Indah yang dia pastikan sudah dikirim. Dia tersenyum simpul. Ada guratan bahagia luar biasa terpancar di wajahnya. Pembawaannya yang kalem itu memang menambah kewibawaannya. Tanpa pikir panjang lagi, segera dia balas pesan Indah. “Indah manis, baiklah. Akan kubuktikan kesungguhanku. Tunggu ya jelita hatiku,” tulis Arya dalam pesannya kepada Indah.

Arya memang suka menggunakan bahasa-bahasa indah dalam menulis pesan. Bukan karena suka menggombal, tapi karena dia menyukai sastra dan hal itu sudah sangat biasa baginya. Indah pun sangat memahami hal itu. Apalagi mereka berdua memang suka diskusi tentang tulisan. Indah sendiri suka menulis puisi, cerpen, atau pun artikel-artikel tentang kondisi buruh migrant Indonesia di Hong Kong dan dimuat di media lokal berbahasa Indonesia. Tak heran jika mereka berdua sangat cocok dan selalu nyambung dalam berbicara.

Demi persiapan kedatangannya ke Hong Kong, Arya mulai membeli cincin kawin, serta oleh-oleh untuk Indah. Dari mulai baju hingga makanan kecil kesukaan Indah. Hari itu juga Arya memesan tiket pesawat tanggal 31 Desember. Ya, Arya memang merencakan tanggal tersebut datang ke Hong Kong dan pas tahun baru bisa menemui Indah karena hari itu adalah libur umum dan dipastikan Indah juga libur.

Hari demi hari mereka lalui dengan penuh suka cita. Arya lebih semangat bekerja karena merasa sebentar lagi mempunyai tanggungan istri jika telah menjemput Indah pulang nanti. Begitu pula dengan Indah. Hatinya selalu berbunga-bunga setiap waktu. Tidak munafik kawan, dia juga membutuhkan perhatian serta belaian kasih sayang dari lawan jenisnya.

Waktu berjalan begitu lambat karena mereka berdua sama-sama dalam penantian. Seperti keong yang berjalan sangat pelan dan begitu lah gambaran waktu yang mereka tunggu. Menunggu memang pekerjaan paling membosankan.

Di Hong Kong, Indah telah membayangkan sosok Arya yang gagah, penuh perhatian dan sayang padanya. Begitu pula Arya. Bayangan wajah manis Indah tak penah lepas sedikit pun dari benaknya. Bahkan dia juga membayangkan jalan-jalan di Victoria Park, sebuah taman yang terkenal sebagai tempat mangkal buruh migrant Indonesia. Ah, impian-impian itu semakin lekat di mata.

Hari berganti dan tiga minggu lagi Arya terbang menemui Indah. Namun tiba-tiba dia merasakan ada yang aneh dengan kondisi tubuhnya. Belakangan dia jadi susah makan dan cepat sekali lelah. Namun dia tak menghiraukannya. Dia beranggapan mungkin hanya kecapekan biasa karena belakangan dia sangat sibuk dengan pekerjaannya. Namun lama-lama semakin menjadi. Bukan hanya gejala susah makan dan cepat lelah saja yang dialami, tapi juga penurunan berat badan yang sangat drastris. Dari berat badannya yang 70 kg, turun menjadi 62 kg. Benar-benar perubahan yang sangat drastis dalam waktu seminggu.

Atas saran sopirnya, akhirnya Arya memutuskan untuk periksa ke dokter. Alangkah kagetnya dia. Dari hasil rontgen dan pemeriksaan lain, Arya menderita sakit kanker lambung yang lumayan parah. Menurut diagnosa dokter, Helicobacter Pylory, yakni kuman yang berperan dalam kanker lambung ini telah menyerang hebat lambungnya.

Arya lemas seketika saat mendengar pernyataan dokter tentang penyakitnya. Mau tidak mau dia harus opname. Pikiran takut mati dan sebagainya mulai menggrogoti jiwanya. “Ya Tuhan, almarhum bapakku meninggal karena penyakit ganas ini. Bagaimana dengan aku? Oh Tuhan, aku harus bertemu Indah dua minggu lagi. Sembuhkan aku, Tuhan,” pintanya. Meski demikian dia tidak mau mengabarkan sakitnya kepada Indah, karena tidak mau Indah menjadi sedih.

Tanpa pikir panjang lagi, Pak Darman, sopir setianya itu membawanya ke Rumah Sakit Dr. Karyadi Semarang. Dengan harapan, di Rumah Sakit terbesar dengan fasilitas terlengkap di ibukota Jawa Tengah tersebut, Arya benar-benar mendapat perawatan intensif agar segera sembuh.

Detik demi detik berjalan, menit demi menit berganti, jam demi jam berlalu hingga hari ke hari. Kondisi Arya semakin memburuk. Badannya semakin kurus, matanya terlihat sangat cekung, kepalanya suka pusing dan jika tak tahan dia tak sadarkan diri hingga dua hari.

Sementara itu, Indah mulai khawatir. Sudah seminggu Arya tidak mengirim kabar untuknya. Beberapa pesan yang dia kirim juga belum ada balasan. Dia coba mengirim pesan kembali. “Arya, baik-baik kah kamu di sana? Kok gak kayak biasanya kamu gak kirim kabar lama banget kayak gini. Gak tahu kenapa, tiba-tiba pikiranku jadi gak enak banget. Setelah kamu baca pesanku ini, tolong kamu balas ya,” tulis Indah dalam pesan di Facebook untuk Arya.

Arya yang malam itu juga On Line seketika membuka pesan Indah. Arya memang tinggal di ruang Very Important Person (VIP), sehingga dia bisa membuka laptop. Meskipun dokter melarangnya, namun dia tetap melakukan secara sembunyi-sembunyi. Karena dia berkomunikasi dengan Indah hanya melalui Facebook saja. Mereka berfikir, sebentar lagi bertemu, sehingga sebaiknya tidak perlu berkomunikasi lewat telpon. Nanti saja setelah bertemu langsung, rasanya pasti lebih surprise dan lebih berkesan tentunya.

Malam itu juga, Arya memberanikan diri untuk menyapa Indah melalui chat. “Met malem sayang,” sapa Arya. Indah terkejut waktu melihat Arya menyapanya di ruang chat.

“Malam juga Arya. Pa kabar, kenapa lama sekali kamu gak ngasih kabar ke aku? Pikiranku gak enak banget,” Indah memberondong Arya dengan berbagai macam pertanyaan.

“Indah manis, maafkan aku ya. Aku sakit sudah hampir dua minggu. Makanya aku nggak ngabarin kamu. Aku gak mau kamu sedih,” jawab Arya.

“Kamu sakit apa Arya. Tolong ceritalah ke aku. Berarti benar firasatku. Pikiranku belakangan ini nggak enak banget. Rupanya kamu sakit. Sakit apa Arya?,” Indah bertanya penasaran. Dia menjadi panik bukan main. Tiba-tiba saja pikirannya melayang pada kisah masa lalu bersama kekasihnya yang meninggal. Dia benar-benar dicekam ketakutan yang luar biasa, kalau-kalau cintanya akan kandas di tengah jalan oleh maut lagi.

“Indah, kamu jangan kaget ya. Aku sakit kanker lambung dan sudah parah. Kata dokter, harapanku untuk bisa bertahan hidup sangat tipis,” jelas Arya yang sambil menahan tangis saat menulis.

Air mata Indah jatuh bercucuran membasahi pipinya. Ketakutannya semakin menjadi dan bayangannya untuk bisa bertemu Arya rasanya semakin pudar. Dia menangis sesenggukan di depan laptop sambil memandang foto Arya. Dadanya terasa sangat sesak. Sungguh tak terbayangkan olehnya kalau Arya mempunyai penyakit seganas itu.

Sambil terus menangis, dia melanjutkan obrolannya dengan Arya. Meskipun dia pesimis bahwa Arya akan sembuh, namun dia tetap berusaha memberikan semangat kepada Arya agar mempunyai semangat hidup. Karena itu juga berpengaruh besar bagi kesembuhan si pasien. Meskipun tidak bisa sembuh total, minimal bisa membuatnya bertahan hidup lebih lama.

“Arya, kamu gak boleh pesimis. Kamu harus yakin bahwa kamu pasti sembuh dan sebentar lagi kita akan bertemu. Kamu akan menjemputku pulang bukan,” Indah berusaha menyemangati Arya.

“Manis, kamu minta kenang-kenangan apa dariku? Mumpung masih ada waktu. Kamu bilang saja, nanti akan aku minta Pak Darman untuk membeli dan memberikannya padamu. Sepertinya hari-hariku semakin pendek sayang,” tulis Arya yang juga sambil menangis bukan kepalang.

Tangis Indah semakin menjadi ketika membaca tulisan tersebut. Lagi-lagi dia berusaha menghibur Arya.

“Kamu nggak boleh bicara gitu. Kamu harus yakin akan sembuh. Aku gak pengen apa-apa Arya. Aku cuma pengen kamu sembuh dan kita bisa jumpa di tahun baru nanti,” hiburnya.

“Kamu nggak usah nyengeng-nyenengin atiku manis. Aku tahu kok hidupku gak lama lagi. Dokter sudah memvonisku bahwa penyakitku ini sudah terlalu akut. Untuk operasi saja rasanya sudah tak mungkin,” tulis Arya yang semakin pesimis dengan penyakitnya itu.
Dada Indah semakin sesak membaca tulisan-tulisan Arya. Dia terus menangis sejadi-jadinya. Belum sempat dia membalas tulisan Arya, laki-laki pujaannya itu kembali menulis.

“Sayang, aku kedinginan. Aku ingin keluar melihat bintang dan menikmati angin malam Mungkin ini adalah malam terakhirku. Besok aku minta pulang saja ke Solo, di rumah paman. Aku sudah tak mungkin bisa sembuh. Kalau pun bisa, itu pun gak bertahan lama. Aku gak mau setelah kita menikah nanti, kamu tiba-tiba cepat menjanda. Percuma aku di Rumah Sakit terus. Besok pagi kalau aku masih bisa bernafas, aku akan telpon kamu. Tapi kalau aku gak menelpon, berarti aku telah pergi jauh. Maafkan aku ya sayang,” Arya menulis panjang lebar dan setelah itu tiba-tiba dia off dengan sendirinya karena jaringan internet yang agaknya kurang bagus.

Tangisan Indah sudah tak bersuara lagi memebaca rentetan kalimat Arya. Dari bahasanya, memang seperti orang yang sudah mau meninggal saja.

Waktu menunjukkan pukul dua dini hari. Indah berusaha menenangkan dirinya sendiri dengan cara berdo’a. Dia berusaha memejamkan mata, namun sungguh sulit. Alhasil, dia pun tidak tidur sampai pagi. Dia meneguk segelas kopi agar tidak ngantuk dalam bekerja. Tapi masih untung karena majikannya sangat baik dan keduanya selalu berangkat kerja saban hari. Sementara kedua anak asuhannya juga ke sekolah setiap Senin sampai Jum’at. Sehingga setelah pekerjaannya selesai, dia bisa tidur barang setengah atau satu jam.

Setelah mengantar anak sekolah, HP tak pernah lepas dari genggaman tangannya. Sering dia lihat kalau-kalau ada SMS atau telpon dari Arya.

“Ya Tuhan, sudah jam sebelas siang. Berarti di Indo jam sepuluh pagi. Kenapa belum juga ada telpon darinya. Atau jangan-jangan…Oh tidak! Aku tidak boleh berfikiran buruk. Aku harus yakin kalau Arya akan sembuh dan tahun baru nanti akan menemuiku,” gumamnya sambil mondar mandir di ruang tamu sembari kedua tangannya saling meremas-remas.

Sementara itu, Arya dibawa pulang oleh sopirnya ke rumah Solo, di tempat pamannya. Dia benar-benar putus asa, menyerah dengan penyakitnya yang semakin hari semakin mnggerogoti raganya. Badannya semakin kurus gak karuan, matanya semakin cekung dan kepalanya gundul. Lantaran beberapa hari yang lalu, dokter berencana mengoperasi dia tapi ternyata kondisi fisiknya tidak memungkinkan. Dia pulang didampingi kakak perempuannya yang datang dari Surabaya beberapa waktu lalu.

“Mbak, kalau aku meninggal nanti, tolong jenazahku jangan dikubur ya. Tolong sumbangkan ke Undip (Universitas Diponegoro), agar dipakai praktek oleh anak-anak fakultas kedokteran,” pinta Arya dengan terbata-bata kepada kakak perempuannya di sepanjang perjalanan menuju Solo. Arya memang lulusan Undip tapi jurusan komunikasi jurnalistik.

“Arya, kamu ini jangan mikir macem-macem tho. Kamu harus yakin bahwa kamu pasti sembuh,” jawab kakaknya sembari menyeka air mata menahan kepedihan hati.

“Mbak, aku menyimpan sebuah cincin yang akan kuberikan pada kekasihku di Hong Kong. Cincin itu aku titipkan pada Pak Darman. Jika aku telah pergi nanti, tolong mbak hubungi dia dan jadilah saudara dengannya. Dia gadis yang sangat baik mbak,” pesan Arya dengan nada sangat pelan. Kakaknya tak dapat berkata-kata lagi. Kali ini tangisnya benar-benar membuncah. Bagaimana tidak, Arya adalah anak bungsu dan mereka jarang sekali bertemu muka kecuali lebaran. Semua pasti berkumpul, bersama-sama merayakan hari kemenangan tersebut.

Tak lama kemudian, akhirnya mereka sampai juga di tempat tujuan. Arya dalam kondisi tak sadarkan diri dan langsung dibaringkan di kamar yang telah disediakan oleh pamannya. Dari hari ke hari kondisi Arya semakin tak menentu. Dia sudah tak bisa diajak bicara lagi. Saudaranya yang di Australia pun tlah datang. Mereka semua tlah berpasrah. Kalau memang Tuhan hendak mengambilnya pun, mereka telah ikhlas. Karena melihat kondisi Arya, mereka sudah tak tega. Sebenarnya kalau saja Arya mempunyai semangat hidup sedikit saja, mungkin akan lebih bisa memperpanjang usianya. Namun trauma akan bapaknya yang juga meninggal karena penyakit yang sama, membuatnya putus asa.

Sementara itu, Indah sendiri juga mulai pasrah setelah seminggu sama sekali tidak ada kabar tentang Arya. Bukannya mengharap yang jelek-jelek, tapi dia juga harus siap menerima kenyataan seburuk apapun. Termasuk, jika Arya ternyata meninggal karena kanker lambung itu. Dia berusaha membesarkan hati, bahwa apapun yang diberikan oleh Tuhan pasti lah yang terbaik. Meskipun terkadang itu pahit dirasakan.
Pagi itu hari Sabtu, 30 Desember 2008, langit nampak gelap. Tak seperti biasanya, burung-burug hitam berkeliaran di atas rumah paman Arya. Mereka menari dan menyanyi sesukanya. Sepertinya membawa sebuah berita duka. Ya, Arya telah berpulang. Pak Darman, segera mengabari Indah melalui pesan singkat di HP.

Dengan tangan gemetar, Indah membuka perlahan SMS yang baru saja masuk. “Mbk indah yg baik, kt mnsia hny bs mrncnkan.tp sma tuhanlah yg mnntukan.mas arya tlh dipnnggil olehNya.yg tbh dan sbr ya mbk,”begitu bunyi SMS yang diterima Indah pagi itu. “Innalillahi wainna illaihiroji’un,” ucap Indah sambil mengelus dadanya. Hampir tak ada lagi air mata menetes. Karena semuanya telah kering bersama waktu yang terus memburu. Dia benar-benar ikhlas, meski separo dunianya kini menjadi gelap.

Arya telah pergi berlayar. Impian serta harapan telah musnah. Tahun baru pun tinggal impian. Ya, hanya impian! Indah tetap beraktifitas seperti biasanya. Namun kisahnya dengan Arya rupanya kembali menutup hatinya dan trauma itu kembali datang menghantam. Dua kali sudah maut memisahkan cintanya. Dia pun berniat untuk tidak menikah dan memilih memungut anak asuh saja setelah pulang ke Indonesia. Bukan kah itu juga sama dengan berbagi kasih dan juga cinta?


Tsz. Wan Shan, 28 Mei 2010


Catatan: Maaf,masih belajar kawan-kawan. Dan aku menyadari cerpen ini masih sangat jauh dari "BAIK". Jadi Mohon kritik dan sarannya ya. Terimakasih