Minggu, 30 Mei 2010

Membaca Cerpen "Di Sudut Kamar" Karya El Nisya Mahendra

Inti cerita adalah seorang wanita BMI ingin menyelesaikan penulisan cerpen untuk ikut lomba cerpen tetapi kesehariannya harus melakukan tanggung jawab utama sebagai pembantu di sebuah keluarga.

Yang menarik dari cerpen ini, si tokoh utama (“aku”) harus mengatur: 1) tenaga sebagai pembantu. 2) pikiran dan perasaan ketika berhadapan dengan situasi rumah tangga majikannya. 3) peluang sempit (kesempatan minim) untuk mengembangkan diri, yakni menulis karya sastra.

Berikutnya, cerpen ini memperlihatkan kesibukan si “aku” dalam situasi yang berubah-ubah tapi tetap berusaha mengingatkan dirinya sendiri untuk menyelesaikan penulisan cerpen yang sudah mendekati batas waktu (deadline) perlombaan. Apakah akhirnya ia mampu menyelesaikannya? Tidak jelas. Dan ketidakjelasan ini yang menarik, serta memberi kesempatan kepada pembaca untuk meneruskannya sendiri..

Mungkin patut menjadi catatan, bahwa tokoh utama sebuah karya fiksi sebaiknya bukanlah tokoh yang kuat, gagah, perkasa, cerdas, dan tiada tandingan. Tokoh Superman alias manusia super bikinan Amrik tetap memiliki kelemahan, yang salah satunya berupa batu krypton. Tokoh Spiderman pun demikian. Artinya, tokoh-tokoh dalam fiksi akan terasa hidup-membumi dan menarik untuk dibaca ceritanya jika masih bersifat “manusiawi” atau “sewajar-wajarnya manusia” dengan segala kelebihan-kekurangannya.

Tokoh utama yang “manusiawi” semacam ini sebelumnya juga telah dibuat oleh El Nisya Mahendra dalam cerpen “Di Balik Jeruji”, dimana tokoh utama memiliki kekurangan (emosional, dan masuk penjara) meski bergelar sarjana. Memang begitulah kenyataan hidup cerpen; tokoh utama mengalami persoalan maka persoalan itulah yang membuat cerpen menjadi hidup. Dan sebagai penulis yang belum lama terjun dalam dunia penulisan, El Nisya Mahendra cukup berhasil menjaga karakter manusiawi pada tokoh utama dalam setiap cerpennya.

Terlepas dari kemenarikan tersebut di atas, dalam cerpen “Di Sudut Kamar” ini masih menyisakan beberapa kekurangan yang mirip dengan cerpen “Di Balik Jeruji”. Kekurangan ini terpaksa sekali harus disampaikan agar pada cerpen-cerpen selanjutnya El Nisya Mahendra bisa lebih menarik untuk dibaca dan tidak lagi menampilkan kekurangan-kekurangan yang itu-itu saja.

Kekurangan cerpen (Di Sudut Kamar) yang mirip dengan cerpen sebelumnya (Di Balik Jeruji) adalah lambatnya persoalan ditampilkan atau diperkenalkan kepada pembaca. Persoalan yang sebenarnya ingin disampaikan dalam cerpen ini adalah “Rencanaku hari ini setelah kuselesaikan semua pekerjaan rutinku, aku akan menulis cerpen, tugas bersama dari teman teman teater. Bila aku hitung ada sekitar waktu 3 jam untuk mengerjakan cerpen itu. “ Dan hal tersebut baru dimunculkannya pada paragraf ke-5.

Ketika cerpen dibuka dengan aktivitas si “aku”, atau lihat cuplikannya:
“Kusibak tirai jendela kamarku, summer membuat pagi ini begitu cerah. Jam 5 pagi sudah padang njingglang istilah jawa-nya, atau bisa diartikan sudah terang benderang…”
Maka saran yang, barangkali, cukup pas, adalah persoalan tersebut disisipkan pada paragraf pertama, sebagaimana dalam teori menulis cerpen konvensional dikatakan bahwa pada bagian pertama (perkenalan) sudah memperkenalkan “persoalan” yang akan diselesaikan oleh tokoh utamanya. Dari situlah kemudian rasa penasaran pembaca dapat terpancing untuk meneruskan pembacaannya hingga selesai.

Selanjutnya, akhir cerpen. Lagi-lagi El Nisya Mahendra masih kerepotan mengakhiri cerpennya dengan mantap sesuai dengan tema “Putus Asa” yang diwajibkan. Baca pada paragraf terakhirnya berikut ini.
Kusingkirkan kertas dan penaku, kulempar telepon genggamku. Aku memang tak berguna, hanya membuat satu cerpen saja aku tak mampu. Kubuang semua barang barang dalam kamarku, jam beker, tumpukan buku dan novel koleksiku yang berjajar di meja kamar. " Ternyata aku tak mampu, aku tak ada gunanya sama sekali," teriakku lagi. Aku capek, duduk di sudut kamarku. Air mata ini tak bisa kubendung, aku kecewa pada diriku sendiri. Sementara Nicole dan Rocco yang sejak tadi di ruang tamu berlari ke kamarku. Kedua bocah kecil itu menghampiriku, menangis memelukku.

Tanpa teriakan "Ternyata aku tak mampu, aku tak ada gunanya sama sekali" dan seterusnya, akhir cerpen ini sudah mampu bercerita dengan kuat sesuai temanya. Sebab, teriakan si “aku” justru mengganggu penokohan (seorang pembantu berteriak di kamar, bagaimana respon majikan?). Sikap si “aku” yang sedemikian emosional itu cukup memberi gambaran keputusasaannya.

Lantas, apa lagikah kekurangan cerpen ini? Alur? Latar? Bahasa? Ejaan Yang Disempurnakan? Silakan mencarinya sendiri.

Secara garis besar, cerpen ini lebih menarik daripada cerpen “Di Balik Jeruji”. Setidaknya, menurut versi Gus Noy.

=====================================================

DISUDUT KAMAR

Oleh Elnisya Mahendra

Kusibak tirai jendela kamarku, summer membuat pagi ini begitu cerah. Jam 5 pagi sudah padang njingglang istilah jawa-nya, atau bisa diartikan sudah terang benderang. Setelah gosok gigi lalu sholat subuh, pekerjaan rutin telah menunggu untuk kusentuh. Kuawali dengan membersihkan toilet, sebelum nyonya Cheung bangun. Memang toilet harus bersih dan wangi, itu aturan kerjaku sejak pertama kali kuinjakkan kakiku 3 tahun yang lalu di rumah berukuran 75O meter persegi milik nyonya Freda Cheung bersama suaminya Herman Lee.

Kubangunkan Nicole si gadis kecil bermata bening itu lebih awal. Kemarin dia berpesan supaya mengantarnya sekolah sebelum jam 8. Nicole memang telah akrab denganku. Apapun kebutuhannya selalu bilang kepadaku sebagai seorang pengasuhnya. Kudapati senyum gadis berumur 9 tahun itu begitu membuka matanya. " Faiti heisan-a mui-mui," panggilku. " Hai-lah tang-yatchan," jawabnya sambil menggosok gosok matanya dengan tangannya yang mungil. Kurapikan selimut dan tempat tidurnya setelah dia bangun dan menuju kamar mandi. Dia tak harus mandi untuk berangkat ke sekolah, hanya dengan cuci muka dan gosok gigi saja. Dikenakanya seragam sekolahnya, sementara aku menyiapkan sarapan paginya. Selembar roti panggang bersemir mentega dan segelas coklat susu yang hangat.

Di pintu kamar depan muncul Rocco, adik laki laki dari Nicole itu berjalan kearahku dengan mata masih kelihatan mengantuk. " Cosan Lisa, ngo kam-yat emsiong fanhok," katanya. Kudekati laki laki kecil itu, kuraba keningnya, sepertinya dia demam. " Kam-yat nei yau hausi sailo, emhoyi emfanhok," jawabkku sambil menggandengnya ke kamar mandi untuk segera gosok gigi. Bocah kecil itu menurut saja. Sementara kusiapkan sarapan untuk Rocco dengan menu yang sama seperti Nicole. Kusediakan juga Parasetamol biar diminum setelah sarapan nanti.

Setengah jam kemudian aku telah selesai mengantar Nicole dan Rocco turun ke bawah flat, dimana bus sekolah telah menunggu mereka berdua. Sekembali dari mengantar mereka aku dapati nyonya Cheung dan tuan Lee telah bangun dan menikmati sarapan yang telah mereka buat sendiri. " Cosan Thai-thai, cosan sinsang, " sapaku pada mereka berdua. Kulirik mereka hanya tersenyum dan mengangguk sambil melanjutkan membaca koran pagi tanpa membalas sapaanku.

Beberapa saat kemudian mereka berdua bersama sama berangkat kerja. Tinggal aku yang menikmati pekerjaanku dan sedikit waktu istirahat. Rencanaku hari ini setelah kuselesaikan semua pekerjaan rutinku, aku akan menulis cerpen, tugas bersama dari teman teman teater. Bila aku hitung ada sekitar waktu 3 jam untuk mengerjakan cerpen itu. " Wah ide ini bermunculan, menulis tentang seorang istri yang ditinggal menikah lagi oleh suaminya, atau seorang gadis yang telah divonis mati oleh dokter akibat Limfoma yang dideritanya, keduanya bertema putus asa," gunamku sendiri.

Siang telah beranjak, hingga sore belum bisa juga kurangkai kata yang untuk membentuk paragraf paragraf cerpen. Otakku blank, entah apa yang aku pikirkan? Aku seperti dalam keadaan bingung, mungkin karena waktu yang terus mengejarku menuju deadline cerpen esuk hari yang harus kutulis dalam note facebookku. " Ah... akan aku coba nanti malam saja menulisnya, mungkin akan bisa kurangkai dengan lancar kata demi kata itu," kataku dalam hati.

Aku sudah tak sempat lagi memikirkan cerpen itu ketika kedua anak yang kuasuh telah pulang dari sekolahnya. Waktuku habis tersita oleh mereka berdua. " Lisa.....!! Sailo ho yai a," teriak Nicole dari kamar mandi. " Lisa faiti kolei," teriaknya kembali. Buru buru kusudahi pekerjaanku di dapur, kuhampiri mereka berdua. " Ya Allah, nei tei co kan matyea?" bentakku pada mereka berdua setelah kulihat lantai kamar mandi banjir dan busa dimana-mana. Beginilah jika aku sedikit saja khilaf mengawasi momonganku. Segera kuperintah mereka berdua keluar, dan mengerjakan tugas tugas sekolahnya. Sementara aku harus mengelap lagi kamar mandi yang telah kubersihkan tadi pagi. Pekerjaan tambahan yang membuatku gondok, didalam hati aku mengumpat.

Menjelang malam sekitar pukul 7, tuan dan nyonyaku telah pulang. Mereka menikmati menu makan malam bersama kedua anaknya. Semangkuk kari ayam ala japanes, sepiring sayur kangkung kutumis dengan fuyi, serta kacang kapri yang aku tumis dengan daging ikan, ditambah sup ikan yang lezat. Kulihat mereka melahapnya dengan senyum mengembang, berarti cocok dengan selera mereka hari ini.

Segera kubereskan pekerjaanku, membersihkan dapur. Aku ingin segera semua cepat selesai, mengingat aku malam ini harus lembur. Harus jadi malam ini juga tekatku. Tiba tiba saat aku ingin memasuki kamarku, nyonya Cheung memanggilku, " Lisa, kamman nei tung ghoetei fankao," sambil menunjuk ke anak anaknya. Aku mengangguk tanpa sarat ketika nyonya Cheung memintaku untuk tidur di kamar anaknya, sedang dia sendiri memilih mengungsi tidur di kamarku. Alasannya karena dia sedang kena flu dan tak ingin anak maupun suaminya tertular.

Merasakan tidur bersama anak anak akan lebih nyaman mungkin. Kamar tidur yang mewah dengan AC, semoga akan menambah semangatku begadang malam ini. Walau hanya dengan bantuan telepon seluler aku mengakses internet, sigin di Facebook dan kutulis kata demi kata di note. Namun......" Ya Allah, low batrae?" teriakku tertahan. Kukeluar dari kamar menuju kamarku sendiri untuk mengambil cas telepon gemgamku. Tapi kamarku telah dikunci dari dalam oleh nyonya Cheung yang telah terdengar dengkurannya dari luar kamar. Terpaksa aku harus kecewa lagi karena tak bisa mengerjakan tugasku. Aku harus tidur malam ini walau beban tugas itu menggelayut di otakku. Berat rasanya.

Lumayan segar ketika aku bangun pagi. Tapi pagi ini tak seperti biasanya. Nicole dan Rocco libur dari sekolahnya karena ruang kelasnya dipakai ujian kelas 6. Ah, tak apa apa, aku masih bisa saja mencuri waktu sekedar menulis cerpen. Namun sampai jam 12 siang otakku benar benar gak bisa jalan. Duh... Apa yang membebani pikiran ini? Dari kucoba tuangkan lewat note handphone terlebih dulu, tapi tetap macet otakku. Kuakali buat kerangka karangan lewat selembar kertas, namun sama saja, semua tak ada hasilnya. Aku benar benar tak ada akal lagi, " Aku menyerah.....!" teriakku histeris.

Kusingkirkan kertas dan penaku, kulempar telepon genggamku. Aku memang tak berguna, hanya membuat satu cerpen saja aku tak mampu. Kubuang semua barang barang dalam kamarku, jam beker, tumpukan buku dan novel koleksiku yang berjajar di meja kamar. " Ternyata aku tak mampu, aku tak ada gunanya sama sekali," teriakku lagi. Aku capek, duduk di sudut kamarku. Air mata ini tak bisa kubendung, aku kecewa pada diriku sendiri. Sementara Nicole dan Rocco yang sejak tadi di ruang tamu berlari ke kamarku. Kedua bocah kecil itu menghampiriku, menangis memelukku.

Tsuen-Wan, 26 Mei 2O1O


Keterangan :
Faiti heisan-a mui mui : cepat bangun adik perempuan
Hai-lah tang-yatchan : baiklah tunggu sebentar
Cosan Lisa, ngo kamyat emsiong fanhok : selamat pagi Lisa, saya hari ini tidak ingin sekolah.
Kam-yat nei yau hausi sailo, emhoyi emfanhok : hari ini kamu ujian adik laki laki, tidak boleh tidak masuk sekolah.
Lisa, kamman nei tung ghoetei fankao : Lisa malam ini kamu tidur dengan mereka
Sailo ho yai : adik laki laki nakal
Faiti kolei : cepat datang kesini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar