Minggu, 30 Mei 2010

Membaca Cerpen Musnah Karya Sreismitha Wungkul

Inti cerita dalam cerpen “Musnah” karya Sreismitha Wungkul (SW) ini adalah seorang wanita BMI di Hongkong sedang mengalami putus cinta dengan kekasihnya, pemuda lokal bernama Yam alias Im, meski si “aku” sudah melakukan aborsi atas usulan Im.

Cerpen ini dibuka dengan jeritan tokoh utamanya, dilanjutkan dengan adegan si “aku” mengejar kekasihnya, Im. Penulis dengan baik menggambarkan kondisi fisik si “aku”, Jantungku berdetak dengan cepat. Nafasku tersengal-sengal, sewaktu mengejar Im. Begitulah SW membuka cerpennya dengan ketegangan seakan hendak menggoda rasa penasaran pembaca.

Seorang pengajar fiksi berujar, “Tak jarang terjadi, cerpen-cerpen yang sering dibuka dengan cerita menarik dengan konflik (ketegangan) yang besar, berikut-berikutnya cerita tidak sanggup mendaki klimaks karena pengarangnya sudah kehabisan tenaga. Tidak semua pengarang sanggup menjaga irama, yang sejak awal ‘telanjur’ menggebu-gebu.”

Ujaran tersebut nyaris terjadi pada cerpen “Musnah” ini jika tidak segera diredam perlahan, meski redaman yang dilakukan SW sangat drastis yakni dengan melakukan usaha “flashback” (kilas balik kejadian) yakni awal perkenalan si “aku” dan Im tapi tanpa alur pengantar yang baik (jeda). Atau baca saja cuplikannya di bawah ini.

"Im..." jeritku sambil terus berlari mengejarnya.
Jantungku berdetak dengan cepat. Nafasku tersengal-sengal. Sosok Im tak kulihat lagi. Terhalang oleh lalu lalang pejalan kaki dan air mata yang mengalir tiada henti. Langkah kaki Im yang panjang, kecepatan berlarinya yang secepat kijang, benar-benar membuatku kewalahan. Akhirnya aku hanya bisa duduk terpekur dipinggir jalan dan menangis sejadi-jadinya.
Perkenalanku dengan Im di sore yang cerah itu, telah membawa perubahan besar dalam hidupku….

Flashback tersebut cenderung mengganggu karena adegan si “aku” mengejar Im, lalu duduk sambil menangis sejadi-jadinya itu seolah-olah masih bertalian alur serta waktu yang sama dengan paragraf berikutnya yang diawali dengan kalimat “Perkenalanku dengan Im di sore yang cerah itu, telah membawa perubahan besar dalam hidupku”.

Penempatan setting waktu “sore yang cerah itu” seolah sama-sama alur ceritanya, antara jeritan, kejaran, duduk, menangis, dan perkenalan. Masalah ini sebaiknya diperhatikan lagi oleh SW.

Perkenalan itu pun memunculkan keganjilan pada tokoh “aku” dan Im. Status kewargaan “aku” tidak jelas, sementara Im atau Yam disebutkan oleh SW, “Im tak pernah memperkenalkan aku pada saudara-saudaranya yang ada di Hong Kong. Bila aku meminta Im untuk main ke rumahnya, ada saja alasan Im tuk menolak permintaanku yang satu ini”. Keganjilan dipertegas dengan beberapa dialog yang menggunakan bahasa Inggris, dan dengan dialog berbahasa yang sama (entah bahasa Mandarin ataukah bahasa isyarat).

Hongkong dan Inggris memperlihatkan nama negara namun asal-usul si “aku” tidaklah jelas. SW menyebutkan dalam omongan “aku”, yang tercuplik, “Kalau kau tak mau kehilanganku, tinggalkan keluargamu. Kita tinggalkan kota ini. Kita pulang ke negaraku!" Memangnya mau pulang negara mana, San?

Jika memang tidak jelas, apa faedah menyebutkan asal-usul Im atau “saudara-saudaranya yang ada di Hong Kong, dan penggunaan dialog memakai bahasa Inggris?

Lantas, sebaliknya, apa faedahnya menyebutkan asal-usul “aku”? Cerpen ini dimulai dengan usaha SW mengaduk perasaan pembaca. Coba baca kembali cuplikannya di bawah ini.

"Im..." jeritku sambil terus berlari mengejarnya.
Jantungku berdetak dengan cepat. Nafasku tersengal-sengal. Sosok Im tak kulihat lagi. Terhalang oleh lalu lalang pejalan kaki dan air mata yang mengalir tiada henti. Langkah kaki Im yang panjang, kecepatan berlarinya yang secepat kijang, benar-benar membuatku kewalahan. Akhirnya aku hanya bisa duduk terpekur dipinggir jalan dan menangis sejadi-jadinya.

Jeritan, detak jantung, nafas tersengal, air mata, kewalahan, dan menangis merupakan suatu kondisi yang dapat mempengaruhi perasaan pembaca. Nah, berkaitan dengan asal-usul kewarganegaraan, bukan mustahil jika asal-usul “aku” pun disertakan untuk menambah bumbu dramatisnya. Bagaimana perlakuan sepihak dari kekasihnya itu dapat membuat kian perih hati “aku” yang adalah perantau di sana.

Pada awal cerpen SW sempat menyebutkan status kedua tokoh itu, “Im juga seorang pekerja migran, sama seperti diriku.” Jika demikian, sebaiknya “aku” juga memiliki asal-usul negara. Oleh karenanya, masih menjadi PR bagi SW mengenai penokohan.

Kemudian, setting tempat. Adegan awal cerpen tidak menyebutkan nama tempat, sedangkan SW menyebutkan tempat pertemuan setelah perkenalan itu adalah taman Victory. Di manakah adegan “aku” mengejar Im yang akhirnya “aku hanya bisa duduk terpekur dipinggir jalan dan menangis sejadi-jadinya” itu?

Setting tempat yang juga kurang menarik karena hanya diterangkan (to tell) dapat dibaca pada cuplikan “Karena rumah kami berjarak sangat jauh”. Seberapa jauhkah “sangat jauh” itu? Dengan kendaraan apa dan berapa waktu tempuhnya?

Alur cerpen ini pun belum tertata rapi. Lihat cuplikan adegan pada awal cerpen.
"Im..." jeritku sambil terus berlari mengejarnya.
Jantungku berdetak dengan cepat. Nafasku tersengal-sengal. Sosok Im tak kulihat lagi. Terhalang oleh lalu lalang pejalan kaki dan air mata yang mengalir tiada henti. Langkah kaki Im yang panjang, kecepatan berlarinya yang secepat kijang, benar-benar membuatku kewalahan. Akhirnya aku hanya bisa duduk terpekur dipinggir jalan dan menangis sejadi-jadinya.

Adegan lainnya yang sangat mendebarkan dalam sejarah hidup seorang perempuan tetapi sangat kurang diungkapkan oleh SW adalah sebagai berikut:
Di meja praktek Dokter illegal, aku harus merelakan anakku dikoyak-koyak dan di paksa keluar dari rahimku. Tak sampai 1 jam, proses aborsi selesai sudah. Di kamar pemulihan, aku menangis sejadi-jadinya.

Sama sekali tidak terlihat suasana hati dan suasana tempat yang menjadi bagian menegangkan (suspens) dalam alur cerpen yang dramatis seperti di awal cerpen. Dan lebih disayangkan lagi, adegan yang semestinya sangat memilukan ini tidak ungkapkan lebih mantap karena berhubungan juga dengan adegan berikutnya.
"San...dua bulan lagi aku menikah. Aku di jodohkan oleh orang tuaku. Aku tak bisa menolak, jika aku menolak, maka aku harus keluar dari keluargaku. Aku..." pembicaraan Im terpotong oleh tangisannya. Im menangis.
"Aku sungguh tak berdaya San" sambungnya.

Lalu kemarahan “aku”. “Dasar laki-laki bajingan! Kau bunuh anakku, kau sakiti jiwa dan ragaku kini kau pinta aku enyah dari negara yang bukan negaramu, syetannn...seharusnya kau mati saja!!!” jeritku sambil menuding mukanya.

Yang selanjutnya muncul hanyalah aksi pertengkaran yang dibumbui dengan kekerasan. Namun tetap terasa datar hingga akhirnya diakhiri dengan cuplikan di bawah ini.
Tapi Im tidak menghentikan langkahnya. Dia terus berlari menerobos kerumunan orang. Tak di hiraukannya teriakkanku yang memintanya tuk berhenti. Dan aku...???

Mungkin maksud SW hendak membuat alur cerpen terbuka dengan sebuah kejutan (surprise) dengan pertanyaan “Dan aku…???” pada akhir cerpen. Tetapi justru sudah dijawabnya sendiri di awal cerita, yaitu “Akhirnya aku hanya bisa duduk terpekur dipinggir jalan dan menangis sejadi-jadinya”.

Bagaimana kesesuaiannya dengan tema “putus asa”? Dengan adanya adegan “aku” mengejar Im, malah tidak menunjukkan adanya keputusasaan, melainkan masih tersisa harapan. Coba baca lagi cuplikannya.

Seketika aku tersadar, kalau Im pergi maka akau akan kehilangan dia tuk selamanya. Padahal jauh di lubuk hatiku, aku masih menyayangi Im. Tapi hatiku yang terluka telah membuatku hampir menjadi gila. Aku selalu menyalahkan Im karena sikapnya yang lembek dan tidak berani mengambil keputusan.
"Immm...tunggu, jangan pergi!"
"Immm..."
Tapi Im tidak menghentikan langkahnya. Dia terus berlari menerobos kerumunan orang. Tak di hiraukannya teriakkanku yang memintanya tuk berhenti. Dan aku...???

Baca lagi, “Seketika aku tersadar”, lalu “"Immm...tunggu, jangan pergi!", kemudian ke awal lagi, "Im..." jeritku sambil terus berlari mengejarnya, hingga “Akhirnya aku hanya bisa duduk terpekur dipinggir jalan dan menangis sejadi-jadinya”. Tersadar, mengejar, dan menangis, sama sekali tidak menunjukkan keputusasaan.

Sekian pembacaan singkat ini. Sebagai pemula atau baru menikmati keasyikan menulis cerpen, SW sudah leluasa mengekspresikan dirinya. Maka dengan terus belajar dari cerpen para cerpenis yang sudah mantap, dan belajar-berlatih sungguh-sungguh serta didampingi buku Pedoman Ejaan Yang Disempurnakan, tidaklah mustahil SW akan mahir menulis cerpen. Semoga!

=============================================================================
=============================================================================

MUSNAH

Cerpen oleh Sreismitha Wungkul

"Im..." jeritku sambil terus berlari mengejarnya.
Jantungku berdetak dengan cepat. Nafasku tersengal-sengal. Sosok Im tak kulihat lagi. Terhalang oleh lalu lalang pejalan kaki dan air mata yang mengalir tiada henti. Langkah kaki Im yang panjang, kecepatan berlarinya yang secepat kijang, benar-benar membuatku kewalahan. Akhirnya aku hanya bisa duduk terpekur dipinggir jalan dan menangis sejadi-jadinya.

Perkenalanku dengan Im di sore yang cerah itu, telah membawa perubahan besar dalam hidupku. Aku dikenalkan pada indahnya dunia percintaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Wajah Im cukup tampan. Hidungnya mancung, dagunya berbelah pinang, alisnya tebal dan matanya sipit. Im juga seorang pekerja migran, sama seperti diriku.

"Hallo...how are you?" sapanya.

"Hai, I'm fine thank's" jawabku.

Kami berjabatan tangan. Kulirikkan mataku pada Lina temanku. Dialah yang membawa Im dan memperkenalkannya padaku.

"My name is Yam, but you can call me Im".

"Oh...my name is San" balasku.

"San...you don't mind if I make friend with you?" tanyanya.

"Ya...I don't mind" jawabku pendek.

"But, my english is not good enough. So if you don't mind, you can teach me and tell me if what I said is wrong". Dia berkata panjang lebar dalam bahasa inggris yang menurutnya belum lancar.

"It's ok, we can learn together" gumamku.

Pertemuan selanjutnya bisa kami lakukan hanya pada hari minggu dan hari libur besar saja. Karena rumah kami berjarak sangat jauh. Tapi komunikasi lewat telpon bisa di lakukan kapan saja dan sesekali telpon dariku tak di angkat oleh Im bila Im sedang sibuk dengan pekerjaannya.

Selang sebulan kemudian, diremangnya suasana taman Victoria, Im mengutarakan isi hatinya.
"San, aku ingin mengatakan sesuatu padamu, tapi kau jangan marah, ya" pintanya sambil menatapku.

"Ya, bilang saja Im. Jangan takut, aku gak akan marah"

"Hmm...aku mencintaimu, San" ucap Im tegas.

"Aku mencintaimu sejak pertama kali kita bertemu" sambungnya.

"Hah!!! Apa kau bilang?" tanyaku seraya menatap kedua belah matanya dan mencoba mencari kejujuran atas ucapannya disana.

"Aku mencintaimu!" tegas Im.

"Maukah kau menjadi kekasihku?" lanjutnya.

"Aku...aku tak tahu Im" jawabku.

"Kenapa San? Apakah aku tak pantas untukmu? Apakah aku terlalu jelek di matamu?" Im memberondongku dengan pertanyaan- pertanyaannya tanpa memberiku kesempatan tuk menjawab.

"Oh, tidak Im" jawabku.

"Justru pertanyaan-pertanyaan itu yang ada di benakku. Dan kau yang harus menjawabnya" sambungku.

"San, bagiku kau adalah wanita tercantik yang pernah ku temui. Kau cerdas,baik hati dan pekerja keras. Wanita sepertimu yang selama ini kucari" Im melontarkan pujiannya padaku. Membuat hidungku kembang kempis karena bahagia, perasaanku serasa terbang jauh di atas awan.

sejak saat itu, kami menjadi sepasang kekasih yang paling berbahagia di dunia ini.
Hubungan kami berjalan dengan mulus. Namun satu hal yang sering membuatku bertanya-tanya. Im tak pernah memperkenalkan aku pada saudara-saudaranya yang ada di Hong Kong. Bila aku meminta Im untuk main ke rumahnya, ada saja alasan Im tuk menolak permintaanku yang satu ini.

Ketika hubungan kami berjalan di tahun kedua, aku mendapat siksaan yang maha berat. Siang itu aku berbincang-bincang dengan Im.

"Im, aku telat datang bulan. Sudah seminggu" ujarku.

"Apa?" Im dengan mimik kaget bertanya padaku.

"Mungkin aku hamil, Im."

"Tunggu...sudahkah kau cek dengan alat tes kehamilan?"

"Belum, ini aku bawa alatnya. Aku ingin memakai alat ini dengan di saksikan olehmu" ujarku sambil mengeluarkan alat tes kehamilan dari tas ku.

"Cepatlah kau lakukan!" Im menyuruhku dengan wajah yang kelihatan gusar sekali.
Tak lama kemudian, aku keluar dari kamar mandi dengan menenteng hasil tes.

"Im...positif, hasilnya positif. Aku hamil"

"Hah??? Wajah Im kelihatan memucat.

Dia menutup wajah dengan kedua belah tangannya. Badannya yang duduk di pinggiran ranjang melorot seperti tak bertulang. Im menangis sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Dan aku hanya bisa menyaksikan semua perbuatan Im dengan hati nalangsa. Sedih sekali kurasa. Lelaki yang kupikir hebat ini, ternyata tak punya nyali. hatiku menangis tapi tak ada setes pun air mata yang keluar dari mataku.

Dengan alasan belum siap jadi seorang ayah, Im menyarankan aku tuk melakukan aborsi. Dan bagaikan kerbau di cucuk hidung, aku hanya manut saja meng iyakan sarannya.
Di meja praktek Dokter illegal, aku harus merelakan anakku dikoyak-koyak dan di paksa keluar dari rahimku. Tak sampai 1 jam, proses aborsi selesai sudah. Di kamar pemulihan, aku menangis sejadi-jadinya.

"Sudahlah San, relakan saja. Kita belum siap punya anak karena kita masih muda" Im berkata lembut sambil mengelus rambutku.

"Anak kita telah mati, Im"

"Ya aku tahu, San. Aku juga sedih"

"Ini jalan terbaik buat kita,San" sambung Im.

Tangisanku semakin menjadi. Penyesalan terbersit di hatiku. Perasaan berdosa memenuhi pikiranku.

"Anakku...maafkan Ibu" ratapku.

Pasca kejadian itu, aku masih meneruskan hubungan dengan Im. Namun kali ini tak semesra dulu. Mungkin aku menyimpan dendam dan sakit hati karena sikap Im yang pengecut. Riak-riak kecil sering terjadi walaupun masih bisa kami atasi. Emosiku labil. Aku menjadi mudah marah dan tersinggung oleh hal-hal sepele.

Ketika hubungan ini memasuki tahun ke 3, Im memberikan sebuah berita yang membuatku diam terpaku.
"San..ada hal penting yang harus kusampaikan padamu" Im berkata lirih membuka percakapan kami sore itu.

"Ya, bicaralah Im"

"San...dua bulan lagi aku menikah. Aku di jodohkan oleh orang tuaku. Aku tak bisa menolak, jika aku menolak, maka aku harus keluar dari keluargaku. Aku..." pembicaraan Im terpotong oleh tangisannya. Im menangis.

"Aku sungguh tak berdaya San" sambungnya.

"Terus, aku bagaimana?" tanyaku.

"Kalau kau mau, hubungan ini terus berjalan walaupun aku beristri. Bagaimana, kau setuju?" Im menyodorkan pilihannya padaku.

"Tidak! Aku tak mau" jeritku.

"Tapi aku tak mau kehilanganmu, San"

"Kalau kau tak mau kehilanganku, tinggalkan keluargamu. Kita tinggalkan kota ini. Kita pulang ke negaraku!" ucapku tandas.

"Tapi..."

"Tapi apa???"

"Tapi aku tak bisa, San"

"Tak bisa ya sudah, kita putus!!!" jeritku lagi.

Pertengkaran sore itu berakhir begitu saja. Tanpa ada keputusan yang baik, karena Im pun tak mau putus dariku.

Hari-hari selanjutnya bagaikan neraka saja buatku. Pertengkaran demi pertengkaran selalu terjadi. kadang di iringi dengan saling menyakiti fisik. Im dengan mudah menamparku, akupun tak mau tinggal diam. Kutampar balik dirinya. Selain tamparan, tak segan Im pun akan mencekik leherku. dan pernah pula dia menyilet tanganku dengan pisau kecil yang selalu dia bawa.Dan bila badan kami sudah berdarah-darah, maka Im akan menghentikan pertengkaran ini dengan sejuta permintaan maaf yang kurasa semakin tiada makna. Pelan namun pasti, Im mulai menjauhiku. Rupanya dia lebih berat terhadap kleluarganya daripada aku. pertengkaran paling besar dan menjadi yang terakhir bagi kami terjadi malam itu.

"San, kita harus putuskan saat ini juga. Aku sudah lelah terus-terusan bertengkar denganmu"

"OK Im, Ku siap menerima keputusanmu!"

"Lebih baik kita berpisah saja. Aku sudah tak bisa lagi hidup denganmu" Im berkata tegas.

"Baiklah kalau itu maumu, Im" jawabku.

"Tapi aku ingin kau pergi dari negara ini" pinta Im.

"Kau pikir siapa kau ini, berani sekali menyuruhku pergi dari negara ini?" geramku.

"Aku takut kau akan menggangggu kehidupanku nanti, San" balasnya.

"Jaga bicaramu, Im"

"Aku bicara yang sesungguhnya,San"

"Dasar laki-laki bajingan! Kau bunuh anakku, kau sakiti jiwa dan ragaku kini kau pinta aku enyah dari negara yang bukan negaramu, syetannn...seharusnya kau mati saja!!!" jeritku sambil menuding mukanya.

"Sabar, San..aku tak mau bertengkar lagi, please!" pintanya memelas.

"Tidak!!! aku tak mau bersabar lagi. Pengorbananku terlalu besar. Aku tak mau berkorban apa-apa lagi buatmu!!!"

"San..." Im berkata lirih. "Tolong aku, San...pahami aku"

"Pergilah kau manusia gila!!! Aklu tak mau melihatmu lagi, pergi!!!" jeritku.

"Baiklah...aku akan pergi San, maafkan aku."

Im berusaha merangkulku, tapi aku menepiskannya. Setelah menatapku dalam-dalam, Im membalikkan badannya dan mulai berlari menjauhiku.

Seketika aku tersadar, kalau Im pergi maka akau akan kehilangan dia tuk selamanya. Padahal jauh di lubuk hatiku, aku masih menyayangi Im. Tapi hatiku yang terluka telah membuatku hampir menjadi gila. Aku selalu menyalahkan Im karena sikapnya yang lembek dan tidak berani mengambil keputusan.

"Immm...tunggu, jangan pergi!"
"Immm..."

Tapi Im tidak menghentikan langkahnya. Dia terus berlari menerobos kerumunan orang. Tak di hiraukannya teriakkanku yang memintanya tuk berhenti. Dan aku...???

============================================================================

Membaca Cerpen "Di Sudut Kamar" Karya El Nisya Mahendra

Inti cerita adalah seorang wanita BMI ingin menyelesaikan penulisan cerpen untuk ikut lomba cerpen tetapi kesehariannya harus melakukan tanggung jawab utama sebagai pembantu di sebuah keluarga.

Yang menarik dari cerpen ini, si tokoh utama (“aku”) harus mengatur: 1) tenaga sebagai pembantu. 2) pikiran dan perasaan ketika berhadapan dengan situasi rumah tangga majikannya. 3) peluang sempit (kesempatan minim) untuk mengembangkan diri, yakni menulis karya sastra.

Berikutnya, cerpen ini memperlihatkan kesibukan si “aku” dalam situasi yang berubah-ubah tapi tetap berusaha mengingatkan dirinya sendiri untuk menyelesaikan penulisan cerpen yang sudah mendekati batas waktu (deadline) perlombaan. Apakah akhirnya ia mampu menyelesaikannya? Tidak jelas. Dan ketidakjelasan ini yang menarik, serta memberi kesempatan kepada pembaca untuk meneruskannya sendiri..

Mungkin patut menjadi catatan, bahwa tokoh utama sebuah karya fiksi sebaiknya bukanlah tokoh yang kuat, gagah, perkasa, cerdas, dan tiada tandingan. Tokoh Superman alias manusia super bikinan Amrik tetap memiliki kelemahan, yang salah satunya berupa batu krypton. Tokoh Spiderman pun demikian. Artinya, tokoh-tokoh dalam fiksi akan terasa hidup-membumi dan menarik untuk dibaca ceritanya jika masih bersifat “manusiawi” atau “sewajar-wajarnya manusia” dengan segala kelebihan-kekurangannya.

Tokoh utama yang “manusiawi” semacam ini sebelumnya juga telah dibuat oleh El Nisya Mahendra dalam cerpen “Di Balik Jeruji”, dimana tokoh utama memiliki kekurangan (emosional, dan masuk penjara) meski bergelar sarjana. Memang begitulah kenyataan hidup cerpen; tokoh utama mengalami persoalan maka persoalan itulah yang membuat cerpen menjadi hidup. Dan sebagai penulis yang belum lama terjun dalam dunia penulisan, El Nisya Mahendra cukup berhasil menjaga karakter manusiawi pada tokoh utama dalam setiap cerpennya.

Terlepas dari kemenarikan tersebut di atas, dalam cerpen “Di Sudut Kamar” ini masih menyisakan beberapa kekurangan yang mirip dengan cerpen “Di Balik Jeruji”. Kekurangan ini terpaksa sekali harus disampaikan agar pada cerpen-cerpen selanjutnya El Nisya Mahendra bisa lebih menarik untuk dibaca dan tidak lagi menampilkan kekurangan-kekurangan yang itu-itu saja.

Kekurangan cerpen (Di Sudut Kamar) yang mirip dengan cerpen sebelumnya (Di Balik Jeruji) adalah lambatnya persoalan ditampilkan atau diperkenalkan kepada pembaca. Persoalan yang sebenarnya ingin disampaikan dalam cerpen ini adalah “Rencanaku hari ini setelah kuselesaikan semua pekerjaan rutinku, aku akan menulis cerpen, tugas bersama dari teman teman teater. Bila aku hitung ada sekitar waktu 3 jam untuk mengerjakan cerpen itu. “ Dan hal tersebut baru dimunculkannya pada paragraf ke-5.

Ketika cerpen dibuka dengan aktivitas si “aku”, atau lihat cuplikannya:
“Kusibak tirai jendela kamarku, summer membuat pagi ini begitu cerah. Jam 5 pagi sudah padang njingglang istilah jawa-nya, atau bisa diartikan sudah terang benderang…”
Maka saran yang, barangkali, cukup pas, adalah persoalan tersebut disisipkan pada paragraf pertama, sebagaimana dalam teori menulis cerpen konvensional dikatakan bahwa pada bagian pertama (perkenalan) sudah memperkenalkan “persoalan” yang akan diselesaikan oleh tokoh utamanya. Dari situlah kemudian rasa penasaran pembaca dapat terpancing untuk meneruskan pembacaannya hingga selesai.

Selanjutnya, akhir cerpen. Lagi-lagi El Nisya Mahendra masih kerepotan mengakhiri cerpennya dengan mantap sesuai dengan tema “Putus Asa” yang diwajibkan. Baca pada paragraf terakhirnya berikut ini.
Kusingkirkan kertas dan penaku, kulempar telepon genggamku. Aku memang tak berguna, hanya membuat satu cerpen saja aku tak mampu. Kubuang semua barang barang dalam kamarku, jam beker, tumpukan buku dan novel koleksiku yang berjajar di meja kamar. " Ternyata aku tak mampu, aku tak ada gunanya sama sekali," teriakku lagi. Aku capek, duduk di sudut kamarku. Air mata ini tak bisa kubendung, aku kecewa pada diriku sendiri. Sementara Nicole dan Rocco yang sejak tadi di ruang tamu berlari ke kamarku. Kedua bocah kecil itu menghampiriku, menangis memelukku.

Tanpa teriakan "Ternyata aku tak mampu, aku tak ada gunanya sama sekali" dan seterusnya, akhir cerpen ini sudah mampu bercerita dengan kuat sesuai temanya. Sebab, teriakan si “aku” justru mengganggu penokohan (seorang pembantu berteriak di kamar, bagaimana respon majikan?). Sikap si “aku” yang sedemikian emosional itu cukup memberi gambaran keputusasaannya.

Lantas, apa lagikah kekurangan cerpen ini? Alur? Latar? Bahasa? Ejaan Yang Disempurnakan? Silakan mencarinya sendiri.

Secara garis besar, cerpen ini lebih menarik daripada cerpen “Di Balik Jeruji”. Setidaknya, menurut versi Gus Noy.

=====================================================

DISUDUT KAMAR

Oleh Elnisya Mahendra

Kusibak tirai jendela kamarku, summer membuat pagi ini begitu cerah. Jam 5 pagi sudah padang njingglang istilah jawa-nya, atau bisa diartikan sudah terang benderang. Setelah gosok gigi lalu sholat subuh, pekerjaan rutin telah menunggu untuk kusentuh. Kuawali dengan membersihkan toilet, sebelum nyonya Cheung bangun. Memang toilet harus bersih dan wangi, itu aturan kerjaku sejak pertama kali kuinjakkan kakiku 3 tahun yang lalu di rumah berukuran 75O meter persegi milik nyonya Freda Cheung bersama suaminya Herman Lee.

Kubangunkan Nicole si gadis kecil bermata bening itu lebih awal. Kemarin dia berpesan supaya mengantarnya sekolah sebelum jam 8. Nicole memang telah akrab denganku. Apapun kebutuhannya selalu bilang kepadaku sebagai seorang pengasuhnya. Kudapati senyum gadis berumur 9 tahun itu begitu membuka matanya. " Faiti heisan-a mui-mui," panggilku. " Hai-lah tang-yatchan," jawabnya sambil menggosok gosok matanya dengan tangannya yang mungil. Kurapikan selimut dan tempat tidurnya setelah dia bangun dan menuju kamar mandi. Dia tak harus mandi untuk berangkat ke sekolah, hanya dengan cuci muka dan gosok gigi saja. Dikenakanya seragam sekolahnya, sementara aku menyiapkan sarapan paginya. Selembar roti panggang bersemir mentega dan segelas coklat susu yang hangat.

Di pintu kamar depan muncul Rocco, adik laki laki dari Nicole itu berjalan kearahku dengan mata masih kelihatan mengantuk. " Cosan Lisa, ngo kam-yat emsiong fanhok," katanya. Kudekati laki laki kecil itu, kuraba keningnya, sepertinya dia demam. " Kam-yat nei yau hausi sailo, emhoyi emfanhok," jawabkku sambil menggandengnya ke kamar mandi untuk segera gosok gigi. Bocah kecil itu menurut saja. Sementara kusiapkan sarapan untuk Rocco dengan menu yang sama seperti Nicole. Kusediakan juga Parasetamol biar diminum setelah sarapan nanti.

Setengah jam kemudian aku telah selesai mengantar Nicole dan Rocco turun ke bawah flat, dimana bus sekolah telah menunggu mereka berdua. Sekembali dari mengantar mereka aku dapati nyonya Cheung dan tuan Lee telah bangun dan menikmati sarapan yang telah mereka buat sendiri. " Cosan Thai-thai, cosan sinsang, " sapaku pada mereka berdua. Kulirik mereka hanya tersenyum dan mengangguk sambil melanjutkan membaca koran pagi tanpa membalas sapaanku.

Beberapa saat kemudian mereka berdua bersama sama berangkat kerja. Tinggal aku yang menikmati pekerjaanku dan sedikit waktu istirahat. Rencanaku hari ini setelah kuselesaikan semua pekerjaan rutinku, aku akan menulis cerpen, tugas bersama dari teman teman teater. Bila aku hitung ada sekitar waktu 3 jam untuk mengerjakan cerpen itu. " Wah ide ini bermunculan, menulis tentang seorang istri yang ditinggal menikah lagi oleh suaminya, atau seorang gadis yang telah divonis mati oleh dokter akibat Limfoma yang dideritanya, keduanya bertema putus asa," gunamku sendiri.

Siang telah beranjak, hingga sore belum bisa juga kurangkai kata yang untuk membentuk paragraf paragraf cerpen. Otakku blank, entah apa yang aku pikirkan? Aku seperti dalam keadaan bingung, mungkin karena waktu yang terus mengejarku menuju deadline cerpen esuk hari yang harus kutulis dalam note facebookku. " Ah... akan aku coba nanti malam saja menulisnya, mungkin akan bisa kurangkai dengan lancar kata demi kata itu," kataku dalam hati.

Aku sudah tak sempat lagi memikirkan cerpen itu ketika kedua anak yang kuasuh telah pulang dari sekolahnya. Waktuku habis tersita oleh mereka berdua. " Lisa.....!! Sailo ho yai a," teriak Nicole dari kamar mandi. " Lisa faiti kolei," teriaknya kembali. Buru buru kusudahi pekerjaanku di dapur, kuhampiri mereka berdua. " Ya Allah, nei tei co kan matyea?" bentakku pada mereka berdua setelah kulihat lantai kamar mandi banjir dan busa dimana-mana. Beginilah jika aku sedikit saja khilaf mengawasi momonganku. Segera kuperintah mereka berdua keluar, dan mengerjakan tugas tugas sekolahnya. Sementara aku harus mengelap lagi kamar mandi yang telah kubersihkan tadi pagi. Pekerjaan tambahan yang membuatku gondok, didalam hati aku mengumpat.

Menjelang malam sekitar pukul 7, tuan dan nyonyaku telah pulang. Mereka menikmati menu makan malam bersama kedua anaknya. Semangkuk kari ayam ala japanes, sepiring sayur kangkung kutumis dengan fuyi, serta kacang kapri yang aku tumis dengan daging ikan, ditambah sup ikan yang lezat. Kulihat mereka melahapnya dengan senyum mengembang, berarti cocok dengan selera mereka hari ini.

Segera kubereskan pekerjaanku, membersihkan dapur. Aku ingin segera semua cepat selesai, mengingat aku malam ini harus lembur. Harus jadi malam ini juga tekatku. Tiba tiba saat aku ingin memasuki kamarku, nyonya Cheung memanggilku, " Lisa, kamman nei tung ghoetei fankao," sambil menunjuk ke anak anaknya. Aku mengangguk tanpa sarat ketika nyonya Cheung memintaku untuk tidur di kamar anaknya, sedang dia sendiri memilih mengungsi tidur di kamarku. Alasannya karena dia sedang kena flu dan tak ingin anak maupun suaminya tertular.

Merasakan tidur bersama anak anak akan lebih nyaman mungkin. Kamar tidur yang mewah dengan AC, semoga akan menambah semangatku begadang malam ini. Walau hanya dengan bantuan telepon seluler aku mengakses internet, sigin di Facebook dan kutulis kata demi kata di note. Namun......" Ya Allah, low batrae?" teriakku tertahan. Kukeluar dari kamar menuju kamarku sendiri untuk mengambil cas telepon gemgamku. Tapi kamarku telah dikunci dari dalam oleh nyonya Cheung yang telah terdengar dengkurannya dari luar kamar. Terpaksa aku harus kecewa lagi karena tak bisa mengerjakan tugasku. Aku harus tidur malam ini walau beban tugas itu menggelayut di otakku. Berat rasanya.

Lumayan segar ketika aku bangun pagi. Tapi pagi ini tak seperti biasanya. Nicole dan Rocco libur dari sekolahnya karena ruang kelasnya dipakai ujian kelas 6. Ah, tak apa apa, aku masih bisa saja mencuri waktu sekedar menulis cerpen. Namun sampai jam 12 siang otakku benar benar gak bisa jalan. Duh... Apa yang membebani pikiran ini? Dari kucoba tuangkan lewat note handphone terlebih dulu, tapi tetap macet otakku. Kuakali buat kerangka karangan lewat selembar kertas, namun sama saja, semua tak ada hasilnya. Aku benar benar tak ada akal lagi, " Aku menyerah.....!" teriakku histeris.

Kusingkirkan kertas dan penaku, kulempar telepon genggamku. Aku memang tak berguna, hanya membuat satu cerpen saja aku tak mampu. Kubuang semua barang barang dalam kamarku, jam beker, tumpukan buku dan novel koleksiku yang berjajar di meja kamar. " Ternyata aku tak mampu, aku tak ada gunanya sama sekali," teriakku lagi. Aku capek, duduk di sudut kamarku. Air mata ini tak bisa kubendung, aku kecewa pada diriku sendiri. Sementara Nicole dan Rocco yang sejak tadi di ruang tamu berlari ke kamarku. Kedua bocah kecil itu menghampiriku, menangis memelukku.

Tsuen-Wan, 26 Mei 2O1O


Keterangan :
Faiti heisan-a mui mui : cepat bangun adik perempuan
Hai-lah tang-yatchan : baiklah tunggu sebentar
Cosan Lisa, ngo kamyat emsiong fanhok : selamat pagi Lisa, saya hari ini tidak ingin sekolah.
Kam-yat nei yau hausi sailo, emhoyi emfanhok : hari ini kamu ujian adik laki laki, tidak boleh tidak masuk sekolah.
Lisa, kamman nei tung ghoetei fankao : Lisa malam ini kamu tidur dengan mereka
Sailo ho yai : adik laki laki nakal
Faiti kolei : cepat datang kesini

Sabtu, 29 Mei 2010

Bertepuk Di Sebelah Cerpen

14 naskah cerpen terkumpul dalam Lomba Menulis Cerpen bertema “Bertepuk Sebelah Tangan” yang diselenggarakan oleh Teater Angin Hongkong. Lomba tersebut terbuka bagi seluruh Buruh Migran Indonesia (BMI) di seluruh dunia, kecuali di Indonesia. Cerpen-cerpen tersebut adalah “Bukan Sebuah Epilog”, “Hati Yang Tergadaikan”, “Dhimas Bagus Satrio Mudo”, “Antara Dua Pilihan”, “Wanita Sumo”, “Cinta Raihana”, “Impian Seorang Dewi”, “Karma”, “(Tak Berjudul)”, “Bertepuk Sebelah Tangan”, “Hari Kemenangan Di Negeri Beton”, “Ibuku Seorang BMI”, “Aku Mencintai Anakmu”, dan “Awal Cerita Yang Kusimpan”.

Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud mendikte kesan pembacaan Sidang Pembaca media ini (karena cerpen sebagai sebuah karya sastra mempunyai relativitas subyektif bagi siapa pun pembacanya), melainkan sekadar memberi sekilas kesan. Oleh karenanya tulisan ini diistilahkan dengan “secoret catatan catat”, yang boleh diartikan “tulisan tidak sempurna”.

Tema
Tema sentral “bertepuk sebelah tangan” dipahami dan diterjemahkan secara variatif oleh para peserta melalui cerpen. Misalnya persoalan cinta antara sepasang manusia, cinta antara sesama manusia, cinta anak pada ibunya, cinta seorang baby sitter pada anak majikannya, cinta kepada Tuhan melalui perayaan hari raya, persahabatan, pekerjaan, dan lain-lain.

Sayangnya, sebagian besar (57,14 %) tentang “cinta seseorang terhadap lawan jenisnya”, yang barangkali saja terlalu memasyarakatnya istilah “cinta bertepuk sebelah tangan” alias “cinta tak terbalas”. Sedangkan sisanya (terbagi dalam prosentase yang kecil) secara merata mengembangkan tema sebagai “keinginan yang tidak sesuai kenyataan”.

Isi atau Makna
Ke-14 cerpen mempunyai isi atau makna bervariasi, seperti termuat dalam beberapa cerpen. Misalnya, cerpen Bukan Sebuah Epilog mengisahkan sebuah perpisahan antara si “aku” (tokoh utama) dengan si “kau” (kawan, tokoh kedua). Perpisahan “aku” dan “kau” seperti juga dengan “kawan-kawan lainnya” merupakan sebuah kisah yang justru menjadi awal cerita baru nantinya. Kalau selama ini kebersamaan menjadikan tepukan dari sepasang tangan (berbalasan), maka perpisahan disamakan dengan bertepuk sebelah tangan.

Cerpen Hati Yang Tergadaikan mengisahkan perjalanan hidup “aku” selama tujuh tahun menjadi BMI di Hongkong, di mana perlakuan para majikan dirasakan oleh “aku” sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan (terlalu semena-mena). Akan tetapi “aku” menyadari posisinya sehingga “aku” berusaha untuk berkompromi, yaitu melakukan apa yang dituntut oleh para majikan meski tidak sesuai dengan perasaan “aku”.

Cerpen Cinta Raihana mengisahkan “aku” (Ray atau Hana atau Raihana) yang tidak dipilih oleh laki-laki bernama Abi atau Abidin sebagai pendamping hidup karena Abi memilih Cut Aisyah, meski “aku” sangat mengharapkan Abi memilih “aku”. Kedekatan hubungan antara “aku” dan Abi disalahartikan oleh “aku” sebagai suatu hubungan berpotensi cinta.

Cerpen (Tak Berjudul) mengisahkan Maysaroh terlibat dalam aksi demontrasi bersama rekan-rekan BMI dalam rangka memperingati Hari Buruh se-dunia tanggal 1 Mei. Dia dan rekan-rekannya menuntut pemenuhan atas hak-hak mereka, meski dia sendiri akhirnya berpikir, “Kapankah akan menjadi nyata?”

Cerpen Hari Kemenangan Di Negeri Beton mengisahkan “aku” (Dita) merayakan Idul Fitri bersama rekan-rekan BMI di negeri orang namun memendam rasa rindu mendalam untuk bisa ber-Idul Fitri bersama kedua orangtua yang telah meninggal dunia.

Cerpen Ibuku Seorang BMI mengisahkan kerinduan “aku” (Reza) sebagai seorang anak pada ibunya yang merantau ke luar negeri demi menopang perekonomian keluarga; kebanggaan anak pada ibunya karena ibunya bukan hanya menjadi “pembantu” tapi juga menjadi “penulis kreatif dan produktif” di luar negeri, ketekunan belajar dan berkreasi si anak sebagai bukti rasa sayangnya pada ibu, dan kehati-hatian anak dalam bergaul.

Cerpen Aku Mencintai Anakmu mengisahkan tanggung jawab pekerjaan “aku” (sebagai seorang baby sitter) dan dilakukan dengan rasa keibuan yang luhur justru menjadi sebuah hubungan batiniah dengan anak majikan sehingga keduanya menjadi sulit dipisahkan.

Bahasa
Ke-14 cerpen peserta tampak berusaha melakukan penggalian (eksplorasi) bahasa untuk mencapai citra estetis. Baca saja misalnya “bening yang selalu menggetarkan jiwa” (cerpen Bukan Sebuah Epilog), “menarik pandangannya yang tersangkut di bulan” (cerpen Antara Dua Pilihan), “rasa tegang yang mulai menjalar” (cerpen Impian Seorang Dewi), “setahun melenggang dengan gemulai” (cerpen Karma), “malam merambat menjemput pagi” (cerpen Hari Kemenangan Di Negeri Beton) dan lain-lain.
Selain citra estetis, pengolahan bahasa bisa memberi suatu gambaran (showing) dalam imaji pembaca. Misalnya “Dingin yang bergentayangan bagaikan durjana yang mencari mangsa” (cerpen Karma), “Deretan rumah menyesaki tiap tanah yang tak lagi kosong” (cerpen Impian Seorang Dewi), “semua khayalanku lari terbirit-birit” (cerpen Wanita Sumo), “Pasti anaknya kutu buku. Berkaca mata tebal, berambut klimis, dan tidak berani menatap perempuan” (cerpen Ibuku Seorang BMI), dan lain-lain.
Sebaliknya, beberapa cerpen masih mengandalkan unsur “menerangkan/menjelaskan” (tell – ajektif). Contohnya “Dua wajah yang sangat menggoda. Cantik dan menawan” (cerpen Cinta Raihana). Wajah sangat menggoda, cantik, dan menawan itu seperti apakah? Tidak ada gambaran (showing) seperti apakah wajah yang sangat menggoda, cantik, dan menawan itu.

Contoh lainnya, “Aku memulai kerja dengan suasana baru yang jujur saja kadang membuat aku jengkel dan tidak betah” (cerpen Hati Yang Tergadaikan). Sayangnya, tidak ada sedikit cerita yang dapat menggambarkan (show) sebab-musabab “aku jengkel dan tidak betah”. Di situ cerita hanya menyuguhkan “penerangan/penjelasan” (telling).

Berikutnya, bahasa dalam dialog. Penggunaan bahasa asing atau daerah merupakan unsur penguat citarasa sebuah karya sastra. Hal tersebut dapat menunjukkan latar belakang tokoh, dan komunikasi antartokoh dalam konteks geografi dan sosial. Sebaiknya disertai pula dengan terjemahannya agar pembaca dapat pula memahami arti sebenarnya. Cerpen Wanita Sumo sudah bisa menempatkan terjemahan di halaman terakhir.

Yang masih banyak harus diperbaiki pada ke-14 cerpen adalah penggunaan Ejaan Yang Disempurnakan (E.Y.D.), misalnya kalimat langsung, kata depan, kata-kata berbahasa asing, huruf kapital, dan lain-lain. Bahkan ada istilah asing yang dipaksakan tampil, semisal “agar aku bisa bekerja sampai finish” (cerpen Hati Yang Tergadaikan).

Dan dari bahasa dalam ke-14 cerpen, tampaknnya proses pengolahan cerpen dilakukan secara tergesa-gesa, termasuk tergesa-gesa diikutkan lomba. Hal ini menjadi kelemahan yang signifikan, meski bisa diperbaiki atau dikurangi. Maka sebaiknya para cerpenis juga memiliki buku pedoman E.Y.D. Para cerpenis yang berpengalaman biasanya tidak mengalami masalah pada E.Y.D, semisal Seno Gumira Ajidarma.

Sudut Pandang
11 cerpen menggunakan sudut pandang orang pertama tunggal (“aku”). 2 cerpen lainnya menggunakan sudut pandang orang ketiga tunggal (dia) sebagai tokoh utama yang bernama Arif ( cerpen Antara Dua Pilihan) dan Maysaroh (cerpen (Tidak Berjudul)).
Hanya 1 cerpen yang memakai sudut pandang tidak konsisten dan harus diperbaiki total, yakni cerpen Dhimas Bagus Satrio Mudo. Cerpen ini semula memakai sudut pandang orang ketiga tunggal bernama Dian dalam 1/3 cerita apalagi pada awal cerpen. 2/3 berikutnya memakai sudut pandang orang pertama tunggal (“aku”).

Tokoh atau Penokohan
Keterlibatan langsung tokoh utama pada pembukaan cerpen sudah terlihat di ke-14 cerpen. Ini menandakan bahwa penempatan tokoh utama sebagai tokoh sentral (protagonis) sudah dimengerti oleh para peserta. Paling tidak, sesuai dengan teori pemetaan tubuh cerpen menurut Jakob Sumardjo (1997).

Mengenai karakter tokoh (penokohan), tokoh utama sebagian besar (11 cerpen) adalah BMI, termasuk cerpen Antara Dua Pilihan yang ditokohi oleh Arif (bukan BMI wanita). 3 cerpen lainnya bukan seorang BMI, yaitu Reza – anak seorang BMI (cerpen Ibuku seorang BMI), seorang kawan (cerpen Bukan Sebuah Epilog), dan seorang gadis yang gagal meraih cinta (cerpen Cinta Raihana).

Dari ke-14 cerpen, cerpen Wanita Sumo menampilkan tokoh utama dengan karakter (penokohan) yang unik-manusiawi. Karakter orang kampung yang belum lama tinggal di kota besar, keinginan bergaya seperti gadis-gadis kota tapi yang ditampilkannya justru kenorakan, serta kejadian yang mempertegas kekampungannya.

Sementara satu penokohan cerpen lainnya masih harus dihayati kembali, yaitu tokoh Arif dalam cerpen Antara Dua Pilihan. Arif adalah seorang pemuda, yang sudah bekerja hingga ke Korea. Sayangnya pemuda ini berkarakter melankolis sekali, misalnya air mata berderai, bertanya pada bantal dan guling secara lirih dan amat menyayat hati, dan lain-lain. Padahal disebutkan bahwa Arif sudah dewasa dan kini dia bertambah dewasa setelah enam tahun menjadi TKI di Korea.

Alur/Plot Cerita
Ke-14 cerpen dibuka secara variatif. 7 cerpen (50 %) dibuka dengan ucapan/dialog. 3 cerpen dibuka dengan latar waktu (setahun, tujuh tahun, dan sepuluh Januari), 2 cerpen dibuka dengan latar suasana (hujan malam, dan sunyi malam), 1 cerpen dengan tokoh (namaku Reza), dan 1 cerpen dibuka dengan latar tempat (ruang) dan suasananya (ruang keluarga).

Penggunaan jenis alur/plot pun variatif, meski alur cerita kronologis-progresif lebih banyak dipakai (10 cerpen). Sementara lainnya, 3 cerpen, bermain dengan regresif (kilas balik atau flashback), dan 1 cerpen menyisipkan sedikit kilas balik.

Kilas balik pun terbagi lagi. 2 cerpen (cerpen Hati Yang Tergadaikan, dan cerpen Awal Cerita Yang Kusimpan) berkilas balik cerita selama bekerja, 1 cerpen (cerpen Karma) berkilas balik cerita keluarga di kampung halaman, dan 1 cerpen lagi (cerpen Hari Kemenangan Di Negeri Beton) berkilas balik lebih jauh yakni mengenang orangtua yang telah tiada.

Menurut sifatnya (akhir cerpen), sebagian besar (13 cerpen) menggunakan alur tertutup. Cerpen-cerpen tersebut diakhiri dengan penutup (kesan selesai) yang jelas, yaitu berupa petuah-petuah, kesimpulan, dan semangat menyiasati hidup tokoh. Selesai sampai di situ.

Satu-satunya cerpen yang menggunakan alur terbuka terlihat pada akhir cerita adalah cerpen Antara Dua Pilihan. Cerpen ini ditutup dengan suara seorang anak menyambut kedatangan Arif (tokoh utama). Selanjutnya, apakah Arif mau minta maaf untuk berpisah dan memenuhi kehendak orangtuanya sebagai bukti kepatuhan, ataukah mau menikahi ibu anak itu, tidak jelas. Pembaca diberi kebebasan untuk menyelesaikan cerpen itu dengan apa pun.

Latar
Ke-14 cerpen berlatar tempat (daerah, geografis) yang berbeda-beda. 7 cerpen berlatar daerah perantauan (Hongkong), 5 cerpen berlatar Indonesia, dan 2 cerpen tidak berlatar daerah. Namun latar tempat secara spesifik belumlah tergarap secara optimal.

Coba baca latar berikut ini. Di pojokan jalan, di samping toko 7-11 yang buka 24 jam, aku berdiri. Dua buntalan kantong plastik sampah berwarna hitam berukuran sedang teronggok di sampingku. Sepasang sandal jepit usang bermerek swallow menopang tubuhku. Menggigil tubuhku yang hanya berbalut celana pendek dan kaos oblong. Air hujan rupanya tak mau berbelas kasih untuk sekedar menghindar dari tubuh kecilku (cerpen Awal Cerita Yang Kusimpan).

Penggalan latar tersebut mewakili beberapa cerpen lainnya. Artinya, keberadaan latar tempat dan suasana dalam cerpen sudah dipahami oleh sebagian peserta untuk membangun sebuah cerita yang utuh, kuat, menarik, dan memberi peluang bagi imaji pembaca. Sayangnya latar yang tergarap bagus belum terlihat pada sebagian cerpen lainnya.
Latar lainnya, semisal budaya, tampaknya belum dianggap sebagai bahan menarik untuk diolah. Padahal latar budaya, khususnya di perantauan, dapat menjadi salah satu kekuatan cerpen, apalagi jika cerpen tersebut dibaca oleh orang-orang di seluruh dunia.

Kreativitas
Kreativitas dalam sebuah cerpen adalah keseluruhan, mulai dari judul, alur cerita, sudut pandang, ketegangan (suspend), karakter tokoh yang manusiawi, pemakaian bahasa yang apa adanya sampai akhir cerita.

Judul seringkali menjadi pemikat. Ibarat setangkai mawar (dalam posisi normal/tegak), judul adalah bunganya. Pengarang harus mempertimbangkan dan mengreasikan aspek judul sebagai daya pikat pertama bagi pembaca. “Wanita Sumo”, “Awal Cerita Yang Kusimpan”, dan “Aku Mencintai Anakmu” merupakan judul-judul cerpen yang cukup menggoda, memancing imajinasi, dan membuat penasaran. “Hati Yang Tergadaikan”, “Antara dua Pilihan”, “Cinta Raihana”, dan “Impian Seorang Dewi” terkesan “gaya sinetron Indonesia”. “Bukan Sebuah Epilog”, “Karma”, “Hari Kemenangan Di Negeri Beton”, dan “Ibuku Seorang BMI” masih kurang meyakinkan, sama halnya dengan cerpen “Dhimas Bagus Satrio Mudo”. Dua judul cerpen lainnya yang cukup disayangkan adalah “Bertepuk Sebelah Tangan” yang menjadikan tema sebagai judul, dan “(Tak Berjudul)” yang memperlihatkan si pengarang kebingungan.

Untuk pengolahan tema, isi atau makna, penokohan, dan seterusnya sudah sedikit disinggung sebelumnya. Sebaiknya para cerpenis membiasakan bercerita dengan penggambaran (showing), bukan dengan penerangan/penjelasan (telling) pada karakter tokoh, sikap dan latar. Dengan melakukan penggambaran (showing), semisal tokoh wanita sumo untuk menyebutkan betapa gembrot wanita itu, imajinasi pembaca digiring pada sosok yang ingin disampaikan oleh pengarang.

Namun yang belum tergarap secara mantap adalah penyelesaian atau akhir cerita. Penyelesaian berupa kesimpulan dan petuah-petuah memang sering dilakukan dan ditujukan bagi pembaca tertentu, misalnya anak-anak, murid-murid, dan pembaca yang kurang berpikir. Oleh karenanya, kesimpulan dengan petuah-petuah semacam itu sebaiknya dihindari. Biarkan makna cerpen atau hikmah hidup dalam cerpen ditemukan oleh pembaca sendiri.

Dan untuk memberi kesan yang utuh, pada bagian penyelesaian dapat dilakukan dengan sebuah kejutan (surprise). Kejutan bukan mengada-ada, melainkan tetap menjadi satu-kesatuan dengan cerita. Surprise ini dapat meninggalkan kesan khusus bagi pembaca.

***
Demikian “secoret catatan cacat” yang mencoba menikmati sedikit rasa dari 14 cerpen yang diikutkan dalam Lomba Menulis Cerpen Teater Angin. Kreativitas yang sudah muncul dalam cerpen-cerpen peserta sebaiknya lebih dikembangkan. Tidak ada kata terlambat dalam berproses. Dan tidak ada karya seni yang terbaik-mutlak apabila para peserta tekun belajar, berlatih, bertanding, dan berdiskusi dengan cerpenis-cerpenis hebat.

*******

Membaca Cerpen Di Balik Jeruji Karya Elnisya Mahendra

Inti cerita :
Seorang calon master bidang hukum (“aku”) yang taat beribadah akhirnya menjadi pembunuh, dan dijebloskan ke penjara.

Permasalahan utama/tunggal: Perselingkuhan. Di saat si “aku”, yang berstatus sebagai istri, ibu, dan sedang melanjutkan studi di luar negeri namun rumah tangganya dikhianati oleh suami dan sahabat karib si “aku”.

Cerpen ini dibuka dengan doa dengan sholat subuh tokoh utamanya (“aku”).
Tuhan, bila takdir-Mu telah engkau teteskan kepadaku, kekuatan apa yang bisa membuatku menolaknya? Tidak akan ada, kecuali kepasrahan yang teramat dalam dari mahkluk-Mu yang hanya sebutir pasir diantara laut dan pantai-Mu yang maha luas.

Kulipat mukena dan sajadahku setelah do'a kupanjatkan untuk orang-orang yang aku cintai diawal pagi ini.

Dan dalam paragraf akhir terdapat jeritan histerisnya di balik jeruji penjara.
" Aku telah membunuhnya, aku telah membunuhnya," cercauku. Aku terduduk diatas tikar, gelap semuanya gelap, tak ada titik terang. Tak ada yang membelaku, " Sumpah...! aku tak membunuhnya," aku kembali histeris. Ya Allah, Kau maha segalanya. " Apa artinya aku sekolah hukum, aku tak mampu membelaku sendiri, aku pasrah ya Allah," bisikku lirih. Sementara dua petugas berseragam memandangku dari luar jeruji besi.

Hal yang juga terlintas, rasionalitas (terlebih secara formal-akademis) akhirnya tunduk pada emosionalitas yang dipungkasi dengan “main hakim sendiri”.

Secara substansi, dua sisi bertolak berlakang (kontradiktif/paradoks) tersebut, baik penokohan maupun jalannya cerita, dapat benar-benar terjadi dan terkesan menarik, apabila diolah kembali dengan lebih cermat. Namun persoalan pengkhianatan semacam itu sudah terlalu umum terjadi, dan menjadi cerita, baik kisah nyata maupun fiksi. Adanya jarak terbentang secara fisik-geografis, tidak jarang memunculkan tindak pengkhianatan begitu. Jangankan masalah “jarak jauh”, “jarak dekat” pun bisa bahkan biasa terjadi tindak serupa.

Secara intrinsik, beberapa hal yang, barangkali, cukup menarik untuk dibahas. Untuk aspek “isi”, sudah disinggung sebelumnya.
a. Tema
Jika tema yang diwajibkan adalah “putus asa”, akhir cerpen tersebut tidak menukik pada sikap seorang yang sedang putus asa, melainkan pasrah (aku pasrah ya Allah). Tentu saja kedua kondisi jiwa ini berbeda bahkan bertolak belakang. Putus asa jelas bukan pasrah, dan cenderung dianggap sikap negatif (putus harapan), dan bisa diteruskan dengan tindakan yang destruktif (merusak). Sedangkan pasrah (pasrah kepada Allah) bukan sikap putus asa, melainkan masih adanya suatu pengharapan (kepada Allah untuk suatu hal yang Allah lakukan kemudian).

b. Penokohan
Dalam cerpen, tokoh-tokoh yang ditampilkan tidak pernah sia-sia alias sekadar numpang lewat.
- “Aku” sebagai seorang istri (suaminya bernama Ilham), ibu (anak mereka bernama Bella), dan mahasiswa pascasarjana yang baru satu tahun melanjutkan studi di luar negeri.
- Ilham, suaminya si “aku”
- Bella, anak tunggal “aku” dan Ilham, dan kini berusiudah itukah anak berusia 5 tahun.

Benarkah dalam kurun waktu satu tahun saja, perubahan jiwa dapat mudah terjadi dalam satu keluarga kecil? Benarkah hanya si “aku” yang benar-benar tidak mengalami perubahan jiwa setelah berpisah selama satu tahun; tetap kangen? Tidak adakah ikatan batin yang mendalam antara ibu (“aku”) dan anak kandungnya (“Bella”) yang sudah bisa berpikir-berasa. Semudah itukah anak berusia 5 tahun menganggap ibu kandungnya biasa-biasa saja lantaran selama satu tahun dekat dengan teman karib ibunya? Apakah selama satu tahun tersebut si “aku” tidak pernah menelpon (berkomunikasi dengan) suami dan anaknya untuk tetap menjaga jalinan kekeluargaan sejati?

Sebagai tokoh utama (“aku”) yang melek hukum, persoalan perselingkuhan hingga perceraian tidak sedikit pun dicerna-diselesaikan sesuai kemampuan akademisnya, apalagi calon master bidang hukum. Di sini si “aku” memiliki kekurangan secara optimal dalam penokohan.

- Ibunya si “aku”
Tidak ada sedikit pun keterangan mengenai status “ibu”-nya; sejak kapan menjanda, ataukah kebetulan ayah si “aku” sedang berdinas di luar daerah. Ketika hal semacam ini kurang diolah, sama sekali tidak memberi kesan keharuan yang dapat memperkuat isi cerpen.


c. Alur
- Cerpen ini tidak konsisten mengelola alur. Awalnya ditampilkan alur yang lambat dan khidmat (proses usai sholat), tetapi berikutnya dipercepat dengan tenaga dari mesin jet pesawat terbang, lantas diperlambat dengan tenaga kerbau.
- Persoalan awal, yakni terpaksa harus pulang ke Indonesia besuk, memenuhi permintaan ibu, yang dapat memancing rasa penasaran pembaca, terlalu lambat (dalam paragraf ke-5) ditampilkan.
- Ketegangan (suspens) pertama pada komunikasi interlokal yang lantas menyuruh si “aku” lekas pulang terkesan dibuat-buat. Apakah hanya itulah komunikasi yang terjalin selama satu tahun?
- … dan entah dari mana datangnya dia telah menggenggam gunting. Ya Tuhan dia mau membunuhku, dia semakin kalap saja, aku-pun tak kalah. Dia coba menikamku, tapi semua luput dan dia terjatuh.

Seperti dalam arena pertandingan akulah pemenangnya, dia tak bergerak lagi. Apa yang sebenarnya dengan dia, kucoba dekati Viona yang jatuh tengkurap dilantai dan " Ya Allah, Vio.. bangun, Vio kau tak apa apa kan?" panggilku panik. Gunting yang tadi dipegangnya menancap di jantungnya, darah melebar membasahi lantai.

Si “aku” mendadak merasa menjadi pemenang begitu melihat Viona luput menikamkan gunting ke tubuh “aku”, lalu terjatuh, dan tidak bergerak lagi. Tidak erangan atau petunjuk apa-apa jika ternyata “senjata makan tuan”.

- Cerpen ini memakai alur tertutup : Di Balik Jeruji Penjara. Sayang sekali “jeruji” penjara diolah terlalu sederhana, yaitu sekadar menjadi akhir cerpen. Sama sekali tidak memberi peluang pada kemungkinan yang lain, atau mungkin dengan suatu tragedi miris.

d. Setting waktu
- Awalnya dari sholat subuh di musim summer. Kegiatan cukup rinci ditampilkan. Pagi masih menyisakan hawa sejuk walau summer sudah diambang pintu. Dan besok pagi si “aku” akan pulang ke tanah air. Tanpa ada kegiatan siang, sore, maupun malam, tiba-tiba saja diantara gundah dan bahagia kuberangkat pagi ini ke bandara Schiphol menggunakan Metro Lijn 51.
- Hari ini adalah hari libur kami, bahkan sampai dengan satu bulan mendatang aku telah mengajukan cuti kuliah. Kalau hari libur bahkan sampai satu bulan, mengapa harus mengajukan cuti kuliah? Cuti kuliah itu bisa satu semester atau sekitar lima-enam bulan. Tidak cukupkah libur satu bulan sehingga harus mengajukan cuti kuliah ?

e. Setting tempat
- Suasana tampak lenggang saat kumasuki rumah berarsitektur joglo itu.
Berarsitektur joglo, jelas untuk menunjukkan rumahnya berada di Jawa. Tapi benarkah “rumah kampung” selalu berarsitektur jogla? Apakah arsitektur joglo itu? Apakah ciri-cirinya? Dan, kalau sebuah rumah berarsitektur joglo namun berada di daerah Kalimantan, bagaimana?
Kalau disebutkan rumah berarsitektur joglo, bagaimana arsitektur apartemen si “aku” dan bangunan-bangunan lainnya?

f. Lain-lain
- " Aku telah membunuhnya, aku telah membunuhnya," cercauku. Aku terduduk diatas tikar, gelap semuanya gelap, tak ada titik terang. Tak ada yang membelaku, " Sumpah...! aku tak membunuhnya," aku kembali histeris.

“Aku telah membunuhnya”, dan “aku tak membunuhnya”, apakah ini disengaja, atau memang keteledoran saja?

***********************************
GN rasa cukup itu saja kesan pembacaan terhadap cerpen Di Balik Jeruji karya Elnisya Mahendra. Disarankan lagi, cobalah menggunakan buku Ejaan Yang Disempurnakan. Tak kalah pentingnya pula, segi hukum (memperkuat penokohan) dan arsitektur (memperkuat setting tempat).

Mohon maaf apabila kualitas kesan pembacaan ini sangat jauh dari kata baik.

==========================================================================
==========================================================================

DIBALIK JERUJI
Oleh Elnisya Mahendra
Tuhan, bila takdir-Mu telah engkau teteskan kepadaku, kekuatan apa yang bisa membuatku menolaknya? Tidak akan ada, kecuali kepasrahan yang teramat dalam dari mahkluk-Mu yang hanya sebutir pasir diantara laut dan pantai-Mu yang maha luas.

Kulipat mukena dan sajadahku setelah do'a kupanjatkan untuk orang-orang yang aku cintai diawal pagi ini. Kulirik Amel yang masih tidur di ranjang, dengkur lembutnya seirama dengan naik turun dadanya. Amel adalah gadis Batak teman satu apartemen, bahkan satu kamar denganku. Aku tak tega membangunkannya, semalam dia pulang larut dari tempat kerja paruh waktunya, yaitu sebuah coffe shop yang berjarak hanya 2OO meter dari apartemen yang kami sewa di Amstervees, sebuah kota yang tidak jauh dari Amsterdam di Holandia utara.

Keberadaanku disini bersama Amel dan dua teman lainya, karena kami sama-sama mendapatkan bea siswa di Universiteit Van Amsterdam. Sebuah Universitas yang aku idamkan sejak aku kuliah di fakultas hukum di UGM dulu. Kekagumanku pada pada Sutan Syahrir seorang sosialis yang menentang para kapitalis membuatku teropsesi untuk mengajukan bea siswa disini, dimana Sutan Syahrir pernah mengenyam pendidikan.

Tahun lalu kutinggalkan mas Ilham suamiku bersama Bella Ayudya anakku yang kini telah berumur 5 tahun. Alhamdulilah mas Ilham mendukung program master yang aku ambil, walau aku harus meninggalkan tugasku sebagai istri dan ibu buat Bella. Bahkan sanggup aku tinggalkan dalam waktu lama. Untung saja ada ibu yang mau membantu menjaga Bella.

Pagi masih menyisakan hawa sejuk walau summer sudah diambang pintu. Aku biarkan Amel tidur sepuasnya. Hari ini adalah hari libur kami, bahkan sampai dengan satu bulan mendatang aku telah mengajukan cuti kuliah. Itu karena aku terpaksa harus pulang ke Indonesia besuk, memenuhi permintaan ibu. Apalagi aku sudah kangen dengan bidadari kecilku yang bermata bening, berbibir mungil. Ah... Bella mirip sekali mas Ilham, rambutnya juga sama mengombak seperti ayahnya.

Kuberjalan keluar kamar menuju dapur, perutku telah merindukan sesuatu untuk pengganjalnya. Kuseduh secangkir kopi instan dan ditemani 2 lembar roti plus keju. Aku lempar pandanganku ke luar jendela, dimana kehidupan di Amstervees sepagi ini sudah sedemikian sibuk. Simpang siur Metro Lijn dan Tram Lijn di depan apartemen. Ya...mungkin seperti juga simpang siurnya hatiku saat ini, selalu dalam tanda tanya.

Seminggu yang lalu ibu telepon dengan tangisnya " Tanti, pulang dulu ya nduk, ibu kangen," suara ibuku dari seberang sana. " Ada apa bu, kok tidak biasanya ibu telpon sambil nangis gitu?" jawabku. Tapi tangis ibu semakin menjadi, " Pokoknya kamu pulang dulu nduk, nanti kamu akan tau sendiri, dan bisa dirundingkan bagaimana baiknya," lanjutnya. Aku tak bisa menolak lagi permintaan ibu. Lalu kucari celah kesibukan di kampus agar aku bisa minta izin cuti. Namun pertanyaan demi pertanyaan menggelayut di otakku.

Amel keluar kamar dan duduk di seberang meja, " Pagi Tanti, kamu jadi besuk pulang Tan?" tanya Amel begitu pantatnya menyentuh kursi. Aku hanya tersenyum mengangguk. " Ada kabar apa sebenarnya dari kampung, kok mendadak gitu?" tanyanya sambil melangkah pergi. Aku masih termangu menatap keruwetan lalu lintas di bawah aparteman. Sepertinya aku harus segera beranjak ke kamar mandi, mengguyur tubuh letihku, rencananya aku akan pergi ke Winkel Centrum, pusat perbelanjaan di Amstervees membeli oleh-oleh untuk Bella. Sudah tak ada waktu lagi, besuk aku harus pagi-pagi berangkat, jadwal penerbanganku jam 12 siang waktu setempat.

Diantara gundah dan bahagia kuberangkat pagi ini ke bandara Schiphol menggunakan Metro Lijn 51. Ini pertama kalinya aku pulang, sejak setahun lalu tinggal di Amstervees. Sampai di Airport langsung cek in di Malaysia Airlines. Sungguh begitu jengah rasanya meredam berbagai pertanyaan dalam hatiku. Aku memang selalu tak bisa dalam keadaan penasaran.

Kepenatan dalam pesawat, lebih dari 15 jam dari Amsterdam - Jakarta dan sempat transit di Kuala Lumpur, kini tertebus sudah. Aku menghirup kembali oksigen tanah airku, seperti sebuah oase yang kutemukan selama 1 tahun kucari di Holand walau di sana sejuk. Sampai di Jakarta pukul 8.1O pagi, perjalanan ini kulanjutkan ke Jogja setelah sebelumnya aku membeli tiket sebuah maskapi penerbangan. Waktu tempuh Jakarta- Jogja yang hanya setengah jam memungkinkan aku tak terlalu sore sampai rumah.

" Ah... Jogja masih seramah dulu," gunamku ketika kujejakkan kaki keluar bandara. Dengan taxi aku menuju terminal, kupilih bus ber-AC yang akan membawaku ke Magelang tempat dimana aku dilahirkan. Yang jelas aku ingin segera menemui ibu, Bella dan mas Ilham. Kubayangkan Bella begitu lucunya, akan memelukku nanti. Tentu gadis kecilku akan gembira nanti saat aku keluarkan boneka Hello Kitty yang sempat kubeli kemarin di Winkel Centrum.

Suasana tampak lenggang saat kumasuki rumah berarsitektur joglo itu. Entah pada kemana semua, tak kutemukan Bella, ibu dan mas Ilham. Tapi pintu rumah terbuka, mungkin Bella lagi keluar jalan dengan papanya. Aku memang tak memberitahu mereka bila aku akan pulang hari ini. Biar menjadi kejutan buat mereka bertiga. Kulongok kamar ibu, " Ya Allah, ibu...!" jeritku. " Apa yang terjadi bu, dimana Bella dan mas Ilham, kenapa mereka tak menunggui ibu disini? Kemana mereka, kemana bu?" pertanyaanku bertubi-tubi pada tubuh membujur di ranjang itu. Sementara wanita renta yang tak lain adalah ibuku itu menangis, berusaha memelukku. " Ya Allah apa yang terjadi?" pertanyaanku selalu berulang ulang. Aku hampir tak percaya dengan kenyataan di hadapanku. Bukankah seminggu yang lalu ibu telpon katanya baik-baik saja, juga mas Ilham 3 hari yang lalu mengabarkan juga semua dalam keaadan sehat, kenapa dia tak bilang kalau ibu sakit? Entah setan mana yang akirnya menyulut api kemarahanku.

Ketika hatiku telah mampu aku kendalikan dan ibu mampu meredam tangisnya, mulailah mengalir cerita yang membuatku seperti kejatuhan benda yang berton-ton beratnya. Membuat aku lunglai terlempar pada negeri asing nan tandus tanpa kehidupan. Ya Tuhan benarkah apa yang aku dengar? Aku tak bisa bersabar lagi, kusambar tas punggungku dan aku pamit pada ibu. " Tanti, kau harus sabar nduk, hadapi dengan lapang. Ibu percaya engkau tak akan berbuat nekat, namun saran ibu, kendalikan emosimu. Banyak-banyak Istigfar, ibu yakin semua akan terselesaikan," tutur ibu sambil air mata itu merembes kembali dari matanya yang tua. " Doakan Tanti ya bu?" pamitku sambil kucium tangan ibu.

Dari sebuah alamat yang ibu berikan tadi, kutemukan rumah berpagar besi tak terkunci. Tanpa ijin pemiliknya aku masuk. " Bunda, bundaku pulang," teriak gadis kecil yang tak lain Bella anakku. Aku segera menyambut dengan bentangan tanganku untuk memeluknya. Aku dekap erat bidadari kecilku, aku ciumi wajah, kening, rambutnya, dan apa saja yang aku temui saat itu. Airmataku tumpah, aku tak tau apalagi yang akan aku ucapkan untuk keharuan ini.

Sore menjelang magrib telah membuat suasana ini lebih terdramatisir tak habis habisnya air mataku mengalir. Beberapa menit kemudian muncul dari pintu depan, sosok perempuan yang tak asing lagi buatku, dia Viona sahabat karibku, yang ternyata diam diam telah menjadi WIL mas Ilham. Dari cerita ibu, mereka menikah di bawah tangan 2 bulan lalu dan membeli rumah ini. Yang tak bisa aku maklumi kenapa harus membawa Bella ikut serta tinggal bersama mereka. " Bunda, itu mama Viona, kita akan tinggal bersama nanti," kata Bella polos. " Selamat datang Tanti, kenapa tak memberi kabar lebih dulu? Aku dan mas Ilham bisa menjemputmu," katanya Viona yang buatku adalah penghinaan. " Gak perlu, aku datang hanya akan membawa Bella pergi, kau tak usah cerita apa apa, tak usah punya alasan apa apa untuk menguasai anakku, cukup kau kuasai Ilham saja. Aku iklas, ambilah semua kecuali Bella," teriakku padanya, aku sudah benar benar marah.

Sepertinya aku tidak perlu berdebat dengan Viona, toh semuanya telah jelas. Aku sudah tidak ingin mempertahankan rumah tanggaku lagi dengan mas Ilham. Aku hanya ingin membawa pulang anakku. Kugendong segera Bella, aku ingin cepat cepat berlari dari rumah si jahanam itu. Namun Viona menghalangiku. " Sorry Tanti, Bella adalah hakku, mas Ilham menyerahkannya padaku untukku jaga. Kau tak perlu susah susah menjaganya. Kejar saja karirmu Tan," tutur Viona sambil senyum sinis. Kutampar wajah itu, wajah sahabatku yang manis namun kini menjijikkan. Namun Viona balik menamparku. Kuturunkan Bella dari gendonganku, bocah kecil itu tampak ketakutan di pojok. Sementara adu mulut antara aku dan Viona tak bisa kuhindari.

" Sampai mati kau tidak akan aku ijinkan membawa Bella pergi, dia anakku," teriak Viona. Dia mulai membabi buta menjambak rambutku, mencakar lenganku, aku tidak kalah sadis saat dengan segenap kekuatanku kutendang perutnya yang katanya telah mengandung janin mas Ilham, aku tak peduli, aku sudah benar-benar sakit hati. Viona terhuyung, sepertinya dia kesakitan dengan tendanganku tadi, dan entah dari mana datangnya dia telah menggenggam gunting. Ya Tuhan dia mau membunuhku, dia semakin kalap saja, aku-pun tak kalah. Dia coba menikamku, tapi semua luput dan dia terjatuh.

Seperti dalam arena pertandingan akulah pemenangnya, dia tak bergerak lagi. Apa yang sebenarnya dengan dia, kucoba dekati Viona yang jatuh tengkurap dilantai dan " Ya Allah, Vio.. bangun, Vio kau tak apa apa kan?" panggilku panik. Gunting yang tadi dipegangnya menancap di jantungnya, darah melebar membasahi lantai. Aku semakin panik, kucabut gunting itu, aku rasa Viona masih hidup. Dari depan pintu mas Ilham menjerit dan menamparku. " Kau telah membunuhnya," tuduhnya.

" Aku telah membunuhnya, aku telah membunuhnya," cercauku. Aku terduduk diatas tikar, gelap semuanya gelap, tak ada titik terang. Tak ada yang membelaku, " Sumpah...! aku tak membunuhnya," aku kembali histeris. Ya Allah, Kau maha segalanya. " Apa artinya aku sekolah hukum, aku tak mampu membelaku sendiri, aku pasrah ya Allah," bisikku lirih. Sementara dua petugas berseragam memandangku dari luar jeruji besi.

Tsuen-Wan, 27 Mei 2O1O.

Membaca Cerpen “I Love My Sister” karya Zen Horakti

I Love My Sister?
Cerpen oleh Zen Horakti

Yang ada di hadapanku bukan dirinya, dirinya yang imut, lucu, dan konyol itu. Kini yang terlihat adalah paras yang cantik, tubuh yang aduhai, dan suara yang indah menyapaku saat aku terbangun melihat cewek itu memakai baju adikku yang kekecilan membuat kancing baju piyamanya pental semua.

“Siapa kamu?” aku panik.

“Aku, aku Anita kak. Apa yang terjadi? Mengapa bajunya terasa sesak?” dengan wajah yang sungguh menawan.

Setelah itu, dia menceritakan semua tentang dirinya yang membuktikan dia adalah Anita, dari semua kejadian yang menimpa kami, kini aku yakin dia benar-benar Anita, adik angkatku yang kuanggap seperti adik kandungku sendiri. Mengapa dia bisa tiba-tiba menjadi dewasa seperti ini, padahal kemarin dia masih terlihat seperti adikku yang berumur sepuluh tahun.

Anita baru saja selesai mandi, setelah mandi wajahnya terlihat semakin cantik. Setelah itu dia membuat sarapan dan terpaksa menggunakan baju kaos milikku, karena semua bajunya sudah tidak muat.

Dia menyajikan masakan seperti biasanya, dia memang sangat pandai memasak sejak dulu. Saat pulang dari kerja ataupun kuliah dia selalu menyajikan makanan yang lezat untukku. “Anita, apa yang membuatmu seperti ini? apa kamu meminum ramuan sihir mempercepat pertumbuhan, atau ramuan penambah umur?” aku menghujani Anita dengan pertanyaan.

Dia menunduk, mungkin juga berpikir apa yang membuatnya seperti ini. “Kemarin, kakak masih ingat dengan penjual minuman yang kemarin kita mampir. Saat itu penjualnya berbisik padaku, katakan permintaanmu dan teguklah.” Jawab Anita setelah minum teh hangat buatannya.

“Lalu apa permintaanmu?” tanyaku makin penasaran.

“Cepat dewasa, dan pintar biar bisa membantu kakak.” Jawab Anita tanpa beban.

“Jadi . . . . kita harus menemui penjual minuman itu.” Aku jadi panik.

“Kak, nggak usah terburu-buru. Habiskan aja dulu sarapannya. Nanti kakak sambil nyari penjual minuman itu ya.” Ucap Anita menenangkanku.

Saat aku berangkat untuk kerja, kerja sambilan pagi terus kuliah nanti sore. Anita memanggilku dari mulut pintu. “Kak.”

“Ada apa, Ta?” tanyaku menoleh.

“Lupa ya? Biasanya kakak mencium keningku sebelum berangkat kerja. Sekarang mana?” tanya Anita memperlihatkan senyuman manisnya.

Wajahku memerah malu, Aduh, kenapa aku jadi berdebar begini, padahal aku sering melakukan ini. Setiap sebelum berangkat kerja aku mengantar Anita sekolah, dan selalu mencium keningnya, namun hari ini dia tidak bisa sekolah. Hal itu disebabkan bisa-bisa syok satu sekolah jika melihat Anita sebesar ini.

Aku melangkahkan kakiku mendekati Anita, aku jinjitkan kakiku untuk meraih keningnya, akhirnya bisa. Tubuh Anita kini sama tingginya denganku. Dadaku kembali berdebar-debar, bagaimana ini? aku jadi salah tingkah begini. Padahal aku sudah punya pacar, bagaimana kalau Risa tahu kalau ada cewek cantik tinggal bersamaku. Hidupku kok semakin ruwet begini.

***

Selama aku bekerja, aku jadi kurang fokus karena kejadian yang menimpa adikku itu. Akibatnya beberapa kali aku salah mengantarkan barang. Setelah aku bekerja akan kucari di mana penjual minuman yang katanya membuat adikku menjadi seperti ini.

Setelah bekerja, aku mencari tempat penjual minuman tersebut. Jujur saja aku masih sangat ingat di mana tempat itu. Tapi, yang lucunya kedai kecil yang kemarin aku lihat tidak ada di sana. Aku mencoba menanyakan orang sekitar, tapi tidak ada yang mengetahui ada kedai kecil di situ.

Di kampus aku bertemu dengan Risa pacarku saat ini. kami memang beda fakultas, tapi aku beruntung bisa mendapatkan cintanya, karena dia menjadi salah satu cewek rebutan di kampus.

Sepulang kuliah aku terkejut melihat isi rumah. Seluruh ruangan ditata dengan rapi, semua tampak bersih, dan rapi. Siapakah dibalik semua ini, saat itu yang aku pikirkan cewek cantik muncul dari balik pintu, Anita, dialah dibalik semua ini.

“Anita, apa yang kamu lakukan pada rumah kita?” aku tahu dia membersihkannya, tapi ini mengejutkan. Sebenarnya Anita memang selalu membersihkan rumah, tapi nggak pernah sebersih ini.

“Karena nggak ada kerjaan, jadi aku pel semuanya. Selain itu aku juga mengerjakan tugas kuliah kakak, yah beberapalah yang aku bisa.” Ucap Anita memperlihatkan buku tugas yang dia kerjakan.

Mataku membesar tidak percaya, dia bisa mengerjakan tugas kuliah. Aku tahu tubuhnya membesar, tapi apakah otak dan pengetahuannya juga demikian? Seharusnya dia itu masih berkemampuan SD kelas 5 tapi . . . . dia bisa kerjakan tugas kuliah, “Ah, sembarangan kali kamu kerjaannya.” Aku berusaha menghibur diriku sendiri sambil mengambil buku tugas yang dikerjakan Anita.

Kuperiksa kerjaannya, setelah yakin beberapa di antaranya memang benar jawabannya. Aku jadi tambah kaget. “Tidak mungkin.”

“Ada apa, Kak? Apa ada yang salah?” tanya Anita terlihat cemas.

“Hebat, ta. Kamu bisa mengerjakan soal anak kuliahkan. Gimana caranya?” aku penasaran menatap Anita dengan penuh perhatian.

“Aku cuma mengingatnya, padahal aku nggak pernah kuliah tapi rasanya sudah pernah menginjak di sana. Selain itu aku juga mengerjakan buku-buku LKS SMA kakak nih.” Ucap Anita menunjukkan buku LKS milikku itu.

Ya ampun, ini kenyataan yang memusingkan, memang Anita selalu mendapat nilai sempurna saat dia masih SD, tapi pengetahuannya kini berkembang sesuai dengan tubuhnya. Mungkin dia bisa menjadi mahasiswa sekarang, dia sungguh berubah.

***

Malam harinya, aku dan Anita selalu tidur bersama, dulu dia selalu aku peluk karena sangat menggemaskan, tapi kini...?? berdebar semalaman gara-gara tidur bersamanya. Oh tidak, nafsu birahiku muncul pada Anita. Aku harus mengambil tindakan, aku takut nanti bisa tidak tahan menahan jika terus tidur bersama dengan Anita.

“Memangnya kenapa, kitakan saudara?” Anita bertanya-tanya kenapa aku memintanya untuk berpisah kamar denganku.

“Kakak takut nanti kakak khilaf dan kita berhubungan intim seandainya kita satu kamar terus. Banyak berita yang mengatakan saudara berhubungan intim karena satu kamar terus. Kakak takut, Ta. Kamu tumbuh lebih cepat dari perkiraanku, kamu kini sungguh cantik.” Ucapku menahan mau, malu dengan penjelasan yang aku katakan padanya.

Anita paham, dia tersenyum senang, “Kakak memang baik. Kakak selalu melindungiku, bahkan melindungiku dari kakak sendiri.” Ucapnya.

Setelah itu aku menceritakan tentang pencarianku tentang kedai minuman yang memberikan minuman untuk Anita sebelum dia menjadi tumbuh sebesar ini. Anita menjadi bingung, apa mungkin memang minuman itu adalah minuman yang mampu mengabulkan permintaan.

“Hei, Ta. Kamu mau nggak jalan-jalan sama Kakak buat nyari baju-baju buatmu. Baju-bajumukan sudah tidak pas lagi buatmu. Kita cari baju-baju yang cantik, mumpung kakak gajian nih.” Ucapku saat selesai memakai baju setelah mandi.

Anita mengangguk semangat sambil memelukku.

***

Aku membawa Anita ke pasar di belakangku, dia memeluk dan merebahkan kepalanya di atas pundakku. Aku jadi grogi, aku bisa merasakan seluruh tubuhnya menempel di belakangku. Aku jadi nggak konsentrasi, jantungku berdebar-debar bahkan lebih dari biasanya, apakah aku . . . . jatuh cinta pada Anita.

Di pasar, Anita banyak membeli baju. Berbagai baju dia kenakan membuatnya tampak cantik, terutama saat dia memakai baju gaun dan rok putih, membuatnya tampak seperti bidadari. Aku sungguh terkesan.

Setelah berbelanja dan bersenang-senang, kami pulang. Aku jadi sedikit minder dipanggil kakak oleh Anita, padahal yang terlihat dia lebih tua dariku dan lebih dewasa dibanding aku.

***

Esok paginya, aku sudah mendapat sarapan yang lezat dari Anita. Dia memang sangat pandai memasak bahkan saat dia masih bertubuh kecil.

Aku baru saja ingin berangkat kerja, dan saat membuka pintu sungguh mengejutkan wajah orang yang berdiri di depan pintu itu. “Risa? Ada apa pagi-pagi begini kamu datang?” tanyaku bingung melihat wajah Risa tampak begitu geram.

“Kemarin pergi dengan siapa kamu? Cewek cantik yang kamu bonceng dan meluk-meluk kamu itu siapa?” tanya Risa begitu kasar.

“Eh, itu . . . “ ucapku berpikir alasan, tapi Anita muncul membuat keadaan semakin buruk.

“Ryo . . . . . .!!” teriak Risa menatap Anita. “Cewek ini siapamu?” Bentak Risa yang benar-benar naik darah.

Aku terdiam tidak mampu berkata apapun lagi.

“Oh, Mbak Risa. Ryo banyak loh cerita tentang Mbak. Beruntung banget kamu Ryo mendapat cewek secantik Risa.” Ucap Anita dengan ramah, membuat aku dan Risa sama-sama bingung.

“Loh, memangnya kamu siapa?” tanya Risa karena amarahnya mulai mereda. Sedangkan aku cuma bisa menatap Anita dan Risa bergantian.

“Aku ini Yuna, kakak Ryo. Gimana, Ryo nggak nakalkan sama kamu?” Ucap Anita berakting.

“Oh kakakmu, Ryo. Kok nggak bilang-bilang punya kakak cantik. Maaf nih, sudah salah sangka.” Ucap Risa jadi malu sendiri.

“Kita memang baru ketemu. Aku baru aja pulang dari setelah meraih S1 di UGM. Aku kembali buat jadi guru SD. Hehehe, oh ya, sampai lupa masuk Dik Risa.” Ajak Anita dengan santun dan lembut.

“Ah, nggak usah. Oh ya, di mana Anita?” tanya Risa, dia sangat menyukai Anita seperti adiknya sendiri. Itu karena dulu dia pernah kehilangan adiknya, sekitar 10 tahun lalu karena banjir.

“Anita ada di rumah bibi, dia sekolah di sana, dia tidak bisa di sini dulu. Karena Ryo katanya banyak ujian, dan sibuk belakangan ini. hehehe.” Jawab Anita memberikan alasan yang tepat.

“Umm, ya udah. Ryo, Kak Yuna. Ryo sampai jumpa di kampus. Juga sampaikan salam kangenku sama Anita.” Ucap Risa meninggalkan kami dengan motor Mio merah miliknya. Aku sejak tadi tidak bicara karena mendengar Anita mampu berakting sehebat itu.

Saat masuk ke dalam rumah, dia langsung tertawa geli. “Aku nggak nyangka bakal bisa bicara seperti itu. Huh, untung saja kepikiran.” Ucapnya memegang perutnya yang sakit lalu melanjutkan tawanya.

“Anita, hebat banget kamu kepikiran bicara seperti itu.” Aku memuji Anita karena kagum atas apa yang dia lakukan tadi.

“Iya dong, kan nggak mungkin dia percaya kalau aku ini adik Kakak, jadi aku bilang kalau aku ini Kakaknya kakak. OK, kak siap-siap deh buat kerja.” Ucap Anita lalu masuk ke kamar mandi.

Aku kembali dibuat tercengang oleh kenyataan, Anita benar-benar luar biasa, dia mampu membaca situasi dan memberikan jalan keluar yang tepat. Aku mengakui dia adalah cewek yang perfect banget, sudah cantik, pintar, tubuhnya aduhai, otaknya encer bahkan melebihi kepintaranku. Kalau begini terus, aku akan membongkar identitas Anita dan mengatakan aku cinta padanya.

Di kampus aku bertemu dengan Risa, dan dia langsung mengajakku ke kantin. Dia tahu kalau cewek yang mengaku sebagai kakakku itu bukan kakakku. Mati aku, rahasiaku terbongkar. Ternyata dia curiga dan mencari data tentang diriku melalui identitas daftar murid dan tertulis di situ aku hanya punya satu keluarga yaitu Anita. Apa yang harus aku jawab sekarang.

“Siapa sebenarnya dia Ryo? Apa dia istrimu?” tanya Risa pelan dan sopan.

”Dia . . . dia . . . Anita, Ris.” Jawabku tidak mampu untuk bohong.

“An . . . Anita?” Jelas Risa bingung.

“Dia tiba-tiba saja menjadi tumbuh dewasa, dia menjadi begitu cantik. Berpendidikan, dan dewasa. Bahkan kupikir dia mirip denganmu, entah sihir apa yang membuatnya seperti itu.” Aku berusaha untuk meyakinkan Risa.

Risa sempat diam, dia menatapku dalam-dalam. Lalu dia pukul meja makan kami, “Dasar bego, kamu pikir aku mau percaya dengan omong kosongmu itu. Tidak usah kamu takut mengatakan dia itu pacarmu, aku pasti akan bersikap dewasa dan mundur, tapi jawabanmu kok ngawur begini.” Ucap Risa kesal, lalu memutar tubuhnya pergi meninggalkanku.

***

Aku pulang ke rumah dengan lesu, karena kini aku telah yakin untuk mengungkap semua tentang status Anita. Tapi, saat aku ingin membuka pintu, pintunya terkunci. Untung saja aku punya kunci duplikat, jadi aku tetap bisa masuk.

Entah ke mana perginya Anita. HP-nya ditinggal. Aku jadi gelisah, ingin aku mencarinya, tapi tidak tahu harus mencarinya ke mana. Jadi aku putuskan untuk menunggunya.

Sudah pukul sepuluh, Anita tidak kunjung pulang. Aku semakin khawatir, jangan-jangan Anita diculik. Aku segera mengambil kunci motor dan bergegas keluar, tapi yang ada di depan pintu saat itu adalah Anita. Tidak kuasa aku menahan tubuhku untuk tidak memeluknya. Aku sungguh khawatir.

Setelah itu aku membawanya masuk, sejak tadi dia diam. Apa sebenarnya yang terjadi padanya. Lalu kami duduk lesehan di depan TV.

“Tadi aku pergi sama Kak Risa.” Ucap Anita sebelum aku tanya padanya.

“Risa? Memangnya ada apa? Dia marah sama kamu?” tanyaku penasaran.

“Tidak, dia cuma tanya siapa sebenarnya aku, aku berusaha untuk meyakinkan bahwa diriku ini Anita.

Pada akhirnya dia percaya. Juga ada fakta yang terungkap kak. Kakak tahu ini.” Ucap Anita menunjukkan kalung yang dia bawa sejak Ayahku menemukannya.

Aku cuma diam menatap kalung itu. kalung yang bermata logam putih berbentuk 2 huruf R yang saling membelakangi. “Kakak bilang ini pemberian kakak. Yah memang benar ini pemberian kakak, tapi kakakku yang sebenarnya, Kak Risa. Aku ini anak pungutkan, Kak.” Ucap Anita dengan lemah juga memilukan.

Aku menunduk menyesal, “Maaf, Ta. Kakak nggak bermaksud untuk menutupinya.” Ucapku dengan perasaan bersalah.

“Aku tidak marah kok, Kak. Kini aku tahu arti kalung ini, dua huruf R ini adalah R untuk Risa, dan R untuk Rina namaku yang sebenarnya. Aku ingin tanya satu hal, apa dulu kita ini sesusuan, kak?” tanya Anita memelas.

Aku menyiapkan hati dulu untuk menjawabnya. “Tidak, Ta. Dulu Ayah menemukanmu, kamu sudah umur sekitar 3 tahun. Apa Risa tidak cerita sama kamu?” tanyaku memastikan.

“Oh, begitu.” Ucapnya, lalu Anita menunduk. Kemudian dia angkat kepalanya kembali dengan senyuman, senyuman yang cantik. “Bolehkah, aku jadi istri kakak? Aku sangat sayang sama kakak, sejak tubuhku ini membesar. Namun, karena aku pikir kita sedarah, jadi aku tidak berani mengatakannya.” Ucap Anita dengan tatapan bahagia.

Aku kini yang terdiam, aku tidak percaya rupanya seperti ini perasaan Anita padaku. Kemudian aku mendengar seseorang membuka pintu rumah. Ternyata ada Risa yang datang. “Ryo, terimalah dia menjadi istrimu. Dia sudah lama bersamamu, jauh sebelum kita bertemu. Tolong bahagiakan adikku, ya.” Ucap Risa dengan senyuman.

Kini aku kembali menatap Anita, “Nita, aku juga cinta sama kamu. Jadi kamu kapan mau kita menikah?” tanyaku lagi pada Anita.

“Terserah kakak saja.” Ucap Anita lalu menoleh ke arah Risa, “Kak, aku mau ketemu sama mama dan papa. Sebelum aku menikah dengan Kak Ryo, aku mau tinggal sama Kak Risa dulu.” Anita sungguh bahagia.

“Kak Ryo, aku juga tadi bertemu sama yang memberikan aku minuman itu. Katanya, sampai nanti jam 12 malam, aku nggak mendapatkan cinta sejatiku, maka aku kan kembali menjadi Anita yang dulu. Tapi, karena sekarang aku sudah menemukannya, aku tidak akan kembali menjadi Anita yang dulu.” Ucap Anita menjelaskan yang terjadi padanya.

***

Dua Minggu kemudian, aku dan Anita akhirnya menikah. Aku mengundang teman-teman satu kampusku. Tentunya juga Risa yang ternyata adalah kakak Anita. Setelah menikah aku kembali melanjutkan kuliah. Sedangkan Anita . . ?? dia menjadi guru kursus untuk Bahasa Inggris, Fisika, dan Metik. Hebatkan.

======================================================================
======================================================================

Membaca Cerpen “I Love My Sister” karya Zen Horakti

Beberapa kelemahan yang harus menjadi perhatian serius bagi Zen Horakti :

1. Penokohan

a. Aku (Ryo)
- Aku masih kuliah tetapi juga sudah bekerja. Kuliah sambil bekerja, ataukah kerja sambil kuliah, terserahlah.
- “Aku cuma mengingatnya, padahal aku nggak pernah kuliah tapi rasanya sudah pernah menginjak di sana. Selain itu aku juga mengerjakan buku-buku LKS SMA kakak nih.” Ucap Anita menunjukkan buku LKS milikku itu.

LKS SMA milik “aku” yang sudah kuliah-kerja? Jelas di sini si “aku” bukan hanya “kuliah-kerja” tapi juga “pelajar”. Kalau menganut “keajaiban ramuan yang diminum Anita”, bisa saja si “aku” pelajar yang juga kuliah dan bekerja. Mungkinkah? Terserah logika siapa pun.Sayangnya tidak ada keterangan si “aku” bersekolah juga di SMA mana.

b. Anita
- “Aku, aku Anita kak. Apa yang terjadi? Mengapa bajunya terasa sesak?” dengan wajah yang sungguh menawan.
- Padahal kemarin dia masih terlihat seperti adikku yang berumur sepuluh tahun.
- Seharusnya dia itu masih berkemampuan SD kelas 5
- Anita kini sama tingginya denganku.
- “Kemarin, kakak masih ingat dengan penjual minuman yang kemarin kita mampir. Saat itu penjualnya berbisik padaku, katakan permintaanmu dan teguklah.” Jawab Anita setelah minum teh hangat buatannya.
- “Bolehkah, aku jadi istri kakak? Aku sangat sayang sama kakak, sejak tubuhku ini membesar.
- “Nita, aku juga cinta sama kamu. Jadi kamu kapan mau kita menikah?” tanyaku lagi pada Anita.

Berkat ramuan sihir yang mempercepat pertumbuhan dan pertambahan usia, Anita mengalami gangguan pikiran. Dia ingat “ingat dengan penjual minuman yang kemarin” tapi lupa baju untuk anak berusia 10 tahun akan berbeda dengan usia 18-20 tahun (mau diajak menikah, dan posturnya sudah dewasa). Kalau dia bisa melihat posturnya dan berpikir dewasa, kenapa dia memaksakan diri untuk memakai bajunya ketika berusia 10 tahun?

Selanjutnya, soal menyajikan makanan. Baca kutipan dari cerpen itu.
- Dia menyajikan masakan seperti biasanya, dia memang sangat pandai memasak sejak dulu. Saat pulang dari kerja ataupun kuliah dia selalu menyajikan makanan yang lezat untukku.

Sejak dulu Anita sangat pandai memasak? Kemarin saja usia Anita baru 10 tahun. Apakah anak perempuan berusia 10 tahun sudah sangat pandai memasak, dan harus meladeni kakaknya? Apalagi masih sekolah kelas 5 SD bahkan disebutkan “dia memang sangat pandai memasak sejak dulu.” Ini sungguh keterlaluan! Eksploitasi anak di bawah umur sejak dulu!

2. Setting Waktu

- apa kamu meminum ramuan sihir mempercepat pertumbuhan, atau ramuan penambah umur?
- “Kemarin, kakak masih ingat dengan penjual minuman yang kemarin kita mampir. Saat itu penjualnya berbisik padaku, katakan permintaanmu dan teguklah.” Jawab Anita setelah minum teh hangat buatannya.
- Malam harinya, aku dan Anita selalu tidur bersama, dulu dia selalu aku peluk karena sangat menggemaskan

Mari berhitung dalam waktu, sejak mulai proses pertumbuhannya dan di luar sepengetahuan si “aku” sehingga tidak menemukan perubahan, padahal malam hari mereka selalu tidur bersama bahkan si “aku” selalu memeluk Anita? Atau, sejak pukul berapa khasiat ramuan itu bekerja sehingga terjadi pertumbuhan?

Kalau si “aku” berangkat kerja pukul 07.00, berarti si “aku” harus mandi dulu. Mandi dan lain-lain sekitar 15 menit. Berarti selama 15 menit itulah proses pertumbuhan dimulai hingga si “aku” kaget ketika hendak berangkat kerja si “aku” menemukan perubahan fisik dan pikiran pada diri Anita. Luar biasa ramuan itu! Begitu ditinggal ke kamar mandi, Anita sudah berubah!

Berikutnya, urutan waktu berdasarkan alurnya.
Di kampus aku bertemu dengan Risa pacarku saat ini. Kami memang beda fakultas, tapi aku beruntung bisa mendapatkan cintanya, karena dia menjadi salah satu cewek rebutan di kampus.
Sepulang kuliah aku terkejut melihat isi rumah. Seluruh ruangan ditata dengan rapi, semua tampak bersih, dan rapi. Siapakah dibalik semua ini, saat itu yang aku pikirkan cewek cantik muncul dari balik pintu, Anita, dialah dibalik semua ini.

Si “aku” bertemu dengan Risa, pacarnya, tapi sama sekali tidak ada obrolan apa-apa. Tapi begitu sampai rumah, panjang sekali isi ceritanya. Benar-tidak sih si “aku” berpacaran dengan Risa, jika diukur dari waktu pertemuan mereka di kampus yang sama sekali tanpa obrolan secuil pun?

3. Setting Tempat

Si “aku” dan Anita tinggal di rumah siapa ya? Apakah benar ada orangtua, sekalipun orangtua angkat, merelakan anaknya yang berusia 10 tahun ikut merantau kakaknya, seorang laki-laki, masih lajang, masih kuliah bahkan sudah bekerja tapi tidak ada pembantu di rumah?

4. Lain-lain

- Aku membawa Anita ke pasar di belakangku, dia memeluk dan merebahkan kepalanya di atas pundakku.

Susah sekali ya menyebutkan “aku membonceng Anita” sehingga jelas posisi si “aku” dan Anita tanpa perlu “aku membawa Anita… di belakangku” yang justru seolah “menggendong Anita”.

- Aku jadi grogi, aku bisa merasakan seluruh tubuhnya menempel di belakangku.

Hanya dengan memeluk dan merebahkan kepala, si “aku” sudah bisa merasakan seluruh tubuh Anita. Kata “seluruh” terlalu lebay karena “seluruh tubuh” berarti pundak, punggung, pinggul, dan seterusnya. Banyak tingkahnya Anita ketika digonceng sampai-sampai “seluruh tubuhnya” bisa dirasakan oleh si “aku”.

- Berbagai baju dia kenakan membuatnya tampak cantik, terutama saat dia memakai baju gaun dan rok putih, membuatnya tampak seperti bidadari.

Pertama, baju gaun. Mengapa masih menyandingkan kata “baju” dan “gaun”? Cukup menyebutkan “gaun” itu sudah berarti baju atau pakaian, seperti juga baju kaos yang cukup menyebut kaos oblong atau kaos kerah, baju kemeja bisa dengan kata “kemeja” sudah menunjukkan jenis bajunya, atau “daster” tidak perlu diawali dengan kata “baju” menjadi “baju daster”.

Kedua, memakai "baju gaun dan rok putih". Sudah pakai gaun, masih juga pakai rok putih. Ini perempuan waras atau lagi ngelawak? Entahlah. Itu saja sedikit dariku.

Ketiga, dia memakai baju gaun dan rok putih, membuatnya tampak seperti bidadari. Dengan memakai “baju gaun dan rok putih”, Anita tampak seperti bidadari? Bidadari memakai baju gaun dan rok putih, itu bidadari apa? Ini pasti berkat ramuan ajaib yang diminum Anita sehingga penglihatan dan pikiran si “aku” berubah tidak karu-karuan.

***

GN rasa itu saja yang bisa GN sampaikan. Sebenarnya masih bisa dibedah lebih jauh untuk memperlihatkan kekurangan itu, namun GN anggap itu saja sudah menunjukkan bahwa cerpen tersebut memiliki kesalahan logika cerita yang fatal. Belum lagi E.Y.D, dan lain-lain.

Balikpapan, 23 Mei 2010