Selasa, 01 Juni 2010

Membaca Cerpen “Hujan Di Bulan Desember” Karya Aliyah Purwati

Hujan di Bulan Desember. Apa yang terbayang dari judul yang cukup menggoda itu? Puitis? Romantis? Puitis nan romantis? Miris? Tragis? Tragis nan miris? Atau, mistis? Apa pun itu, sebaiknya cerpen “Hujan Di Bulan Desember” karya Aliyah Purwati (AP) ini dibaca isinya secara keseluruhan.

Tersebutlah sepasang anak manusia dewasa bernama Indah dan Arya terlibat hubungan cinta via internet, tepatnya jejaring sosial bernama Facebook. Tidak ada petunjuk yang jelas, sejak kapan mereka bercinta via internet. Yang jelas petunjuk waktunya, tanggal 31 Desember mereka bersepakat untuk menyatukan jalinan cinta maya itu tapi dengan syarat “Arya benar-benar datang menemui Indah di Hongkong”.

Kalau ada ungkapan “cinta tidak bersyarat”, lain lagi kalau sampai pada kesepakatan untuk menikah. Boleh-boleh saja cinta tak bersyarat. Tapi tidak demikian dengan urusan pernikahan sebab pernikahan bukanlah urusan sepasang sejoli lalu beres semua. Sebab, pernikahan juga merupakan penyatuan dua keluarga besar. Begitu kira-kira pesan yang hendak disampaikan oleh AP.

Namun, ketika AP mencipta dan menyusun cerpennya, mungkin ada beberapa hal yang masih menjadi PR bagi AP. Mungkin karena terburu-buru atau diburu-buru deadline. Atau, karena masih belajar? Apa pun sebabnya, semoga sedikit ulasan ini dapat menjadi semacam perbandingan dalam berkarya.

***

Dari singkatannya (cerpen adalah cerita pendek), mengisyaratkan bahwa cerita yang tersusun dari rangkaian kata, tanda baca dan seterusnya menjadi kalimat maka semua elemen itu harus menjadi satu kesatuan yang mengikat sebagai suatu cerpen. Semua unsur saling berhubungan di dalamnya, entah itu menggunakan bahasa puitis, ataupun bahasa taktis.

Lantas, apa hubungannya dengan cerpen “Hujan di Bulan Desember” ini? Coba kita lihat bersama cuplikan dua paragraf awal cerpen karya AP seperti di bawah ini.

“Indah, bulan depan aku akan datang ke Hong Kong untuk menjemputmu pulang dan kita menikah,” begitu pesan Arya kepada Indah melalui situs jejaring sosial Facebook. Ya, Arya dan Indah memang saling kenal di jejaring yang ditemukan oleh seorang mahasiswa Harvard bernama Mark Zuckerberg ini. Sejak ditemukan enam tahun lalu, Facebook telah digunakan ratusan juta orang di dunia dan dari hari ke hari semakin digandrungi orang saja. Bahkan kalau sampai tidak dapat mengendalikan diri, bisa ketagihan dan fatal akibatnya.

Bayangkan saja, kita bisa dengan mudah mencari kawan lama, saudara dan lain-lain. Berbagai fasilitas juga ada di situ. Dari sekedar membuat status, komentar bebas, memposting tulisan untuk di-share dengan kawan yang lain, game, chat dan sebagainya. Pokoknya dunia serasa benar-benar tak selebar daun kelor. Demikian-orang biasa menyebutnya. Namun harus hati-hati juga, karena tidak menutup kemungkinan orang akan memanfaatkan situs tersebut untuk hal-hal negative.

Dua paragraf awal ini, apabila disandingkan dengan singkatan cerpen tadi, apakah memang perlu tentang facebook itu dituliskan juga? Sebaiknya tidak perlu dimasukkan dalam cerpen, kecuali sebagai catatan kaki atau keterangan setelah cerpen selesai. Oke?

Ajakan menikah dari Arya sudah bagus karena itu yang memperkenalkan pembaca sebagai cikal-bakal persoalan yang akan menjadi cerita utama dalam cerpen ini. Artinya, persoalan sudah diperkenalkan kepada pembaca sejak paragraf pertama.

Berikutnya, pada paragraf pertama, berkaitan dengan alur, latar tempat, dan waktu, sama sekali tidak menunjukkan kapan ajakan menikah itu disampaikan oleh Arya, dan di mana (di kamar, di ruang baca, atau di mana lagi?) Indah membacanya. Hal ini terutama untuk memperlihatkan hubungan (alur) paragraf tersebut dengan paragraf berikutnya. Coba baca lagi cuplikannya di bawah ini.

Sekitar pukul sebelas malam, pekerjaan Indah telah selesai. Seperti biasa dia langsung masuk kamar, mengunci pintu dan menyalakan laptop. Itu memang sudah menjadi kebiasaan Indah saban malam. Seperti biasanya pula, Facebook adalah website pertama yang dia kunjungi, kemudian setelah itu baru kompas atau pun situs berita lainnya. Ada sepuluh pesan yang masuk dalam inbox nya dan salah satunya adalah pesan dari Arya. Dia kaget bukan kepalang. Matanya yang agak sipit mendadak terbelalak lebar membentuk bola yang sangat besar dan dahinya berkerut sangat rapat.

Itu yang tadi dikatakan “berkaitan dengan alur, latar tempat, dan waktu”. Jangan sampai terjadi kerancuan dengan kalimat pembukaan paragraf ke-3, yaitu “Sekitar pukul sebelas malam, pekerjaan Indah telah selesai. Seperti biasa dia langsung masuk kamar, mengunci pintu dan menyalakan laptop….”

Dalam cerpen cinta yang “khusus untuk orang dewasa” ini sama sekali tidak ada kejelasan “kapan mereka bertemu” dan “mulai bersepakat saling mencintai”. Satu tahunkah, setengah tahunkah, seperempat tahunkah, dan seterusnya. Tidak mungkin sebuah cerita cinta tanpa pemaparan apa-apa langsung mengajak menikah. Di sini terasa sekali ada yang kurang. Sebaiknya AP menuliskan juga di paragraf lain (tidak harus di paragraf pertama) mengenai hal itu.

Selanjutnya, penokohan. (Haduhbiyuh, lagi-lagi penokohan!). Begini. Nyaris tidak jelas, mana tokoh utamanya. Indah ataukah Arya. Lho kok begini?

Pada awal-awal cerpen, terlihat Indah mengambil posisi dominan. Dari paragraf kesatu hingga paragraf keenam (total 17 %), terdapat empat paragraf (12 %) diisi oleh situasi Indah. Yang langsung tercetak dalam pikiran, tokoh utamanya pasti Indah.

Paragraf berikutnya adalah Arya sebanyak dua paragraf atau 7 %. Selanjutnya diisi lagi oleh Indah sebanyak empat paragraf atau 6 %. Disusul lagi oleh Arya dengan jumlah empat paragraf atau 9 % . Berhenti sampai di situ, total prosentasenya: Indah sebanyak 18 %, dan Arya 16 %. Angka yang cukup dekat untuk dua tokoh yang akan dilihat “siapa tokoh utamanya”.

Namun dalam cerpen, persoalan prosentase memang tidak bisa menjadi patokan, kendati angka 18 % dan 16 % sebenarnya sangat mengganggu dalam pengaruh tokoh sebagai tokoh utama. Itu baru untuk sebagian saja. Dan kalau dihitung lagi, dimana jika keseluruhan cerpen adalah 100 % :
1). Indah : 53 %
2). Arya : 43 %
3) Lain-lain (di luar cerpen) : 4%

Paling tidak, perhitungan matematis cukup menarik untuk dilibatkan dalam cerpen ini. Sedangkan patokan utama dalam sebuah cerpen adalah tokoh yang sangat berpengaruh sebagai tokoh utama. Kalau tadi Indah memperlihatkan dominasinya pada awal-awal cerpen tetapi konflik dalam diri Indah ternyata tidak terlalu kuat digarap. Keseharian Indah? Tidak terlihat adanya konflik-konflik kecil atau persoalan yang menghanyutkan, yang berhubungan dengan persoalan utama : “batal kawin” (pinjam judul lagu Project P). Masalah dalam diri Indah hanya pada “usia yang nyaris jatuh tempo”. Hanya? Ya, AP lebih mengutamakan penderitaan fisik si Arya, bukannya mengungkapkan derita psikis-nya Indah yang dicap “perawan tua”.

Sebaliknya, justru cerita tentang Arya dengan narasi dan kambuhnya kanker lambungnya hingga parah, masuk rumah sakit, dan akhirnya mati, ternyata lebih menyita perhatian. Begitu mengharu-biru. Miris dan tragis.

Dalam cerpen ini jelas sekali seolah-olah terdapat dua tokoh utama. Pertama, Indah yang menang dalam hal tampil lebih awal dan jumlah prosentasenya 53 % dari keseluruhan cerpen. Kedua, Arya yang tampil berikutnya dengan total prosentase 43 % dari keseluruhan cerpen namun dalam cerpen ini Arya ditampilkan lebih mengharukan, miris dan tragis.

Menurut teori menulis cerpen konvensional, keberadaan tokoh Arya jelas sudah merusak penokohan utama (protagonist) dalam cerpen. Biasanya keberadaan tokoh utama lebih terasa menyita perhatian, dan tokoh lainnya ditampilkan tidak terlalu dominan dalam prosentase. Namun entahlah dalam teori penulisan cerpen mutakhir.

Yang berikutnya akan menyita perhatian, meski prosentasenya sedikit daripada tokoh utama, biasanya disebut tokoh antagonis atau musuh dari tokoh utama, yang kemudian turut berperan dalam membangun konflik karena selalu menjadi lawan bagi tokoh utama. Tokoh antagonis ini tidak harus manusia. Dalam cerita tokoh Arya, peran antagonisnya adalah penyakit kanker lambungnya, dan itu yang membangun ceritanya menjadi mengharu biru. Sementara Indah? Sudah disebutkan, “konflik dalam diri Indah ternyata tidak terlalu kuat digarap.”

Lepas dari itu, ada hal lain yang sebaiknya dapat menjadi perhatian bagi AP. Yakni, mengenai pemaparan karakter tokoh Arya dapat dilihat dalam cuplikan sebagai berikut:

Meskipun kaya raya, ia tetap rendah hati dan mempunyai sifat dermawan. Ia juga disukai banyak orang
karena keramahan dan kebaikannya pada siapa pun. Dan yang paling penting ia tidak pernah membeda-bedakan antara yang miskin dan kaya. Baginya, semua sama. Sama-sama mahluk ciptaan Tuhan yang harus dikasihi dan disayangi.

Penjelasan tentang karakter tokoh semacam ini seolah-olah penjelasan dalam cerita dongeng mengenai kelebihan-kelebihan tokoh utamanya. Sebaiknya AP mulai menghindari penjelasan karakter tokoh : rendah hati, dermawan, disukai banyak orang, ramah, baik, tidak membeda-bedakan sesama manusia, dan lain-lain. Ini yang namanya “menjelaskan” atau “menerangkan” (telling).

Dalam cerpen dewasa, penjelasan semacam itu sebaiknya tidak ada, kecuali terdapat dalam dialog, bukan narasi. Karakter yang “hebat” itu sebaiknya digambarkan melalui perilaku atau property yang dimiliki oleh Arya, dan biarkan pembaca sendiri yang menangkap kesan karakter Arya yang “hebat” itu. Maka di situlah kreativitas AP tertantang untuk menggarap penokohan secara “penggambaran” atau “pelukisan” (showing), bukan dengan “menjelaskan” (telling).

***

Terakhir, mengenai hubungan antara tema dan cerpen ini, kesan putus asa justru terlihat pada Arya, kendati putus asa itu bukan pada persoalan “batal kawin” (meminjam judul lagu P Project) melainkan pada harapan hidup. Sementara itu, bagaimana dengan Indah pasca kematian Arya? Coba baca paragraf terakhirnya.

Arya telah pergi berlayar. Impian serta harapan telah musnah. Tahun baru pun tinggal impian. Ya, hanya impian! Indah tetap beraktifitas seperti biasanya. Namun kisahnya dengan Arya rupanya kembali menutup hatinya dan trauma itu kembali datang menghantam. Dua kali sudah maut memisahkan cintanya. Dia pun berniat untuk tidak menikah dan memilih memungut anak asuh saja setelah pulang ke Indonesia. Bukan kah itu juga sama dengan berbagi kasih dan juga cinta?

Pada kalimat “Indah tetap beraktifitas seperti biasanya” sama sekali tidak menampakkan gelagat orang putus asa. Mungkin karena keterlibatan emosionalnya dengan Arya hanya sebatas dunia maya. Dan berikutnya, “Namun kisahnya dengan Arya rupanya kembali menutup hatinya dan trauma itu kembali datang menghantam. Dua kali sudah maut memisahkan cintanya. Dia pun berniat untuk tidak menikah dan memilih memungut anak asuh saja setelah pulang ke Indonesia. Bukan kah itu juga sama dengan berbagi kasih dan juga cinta?”.

Kalau cerpen ini beraroma cinta sepasang sejoli serta hendak berujung pada pernikahan, akhir paragraf “memungut anak sama dengan berbagi kasih dan cinta” jelas tidak memiliki hubungan apa-apa karena dari awal hingga mendekati akhir cerpen tidak ada sedikit pun narasi mengenai “cinta/kasih yang lain” dan “keturunan”.

***

Demikian ulasan sederhana ini. Lebih-kurangnya, silahkan Sidang Pembaca terhormat yang mengungkapkannya. Kepada AP, ulasan ini bukan menjadi kemutlakan. Tetaplah belajar, berlatih, dan berpedoman pada EYD.

=============================================================================
=============================================================================

Hujan di bulan Desember

Oleh: Aliyah Purwati

“Indah, bulan depan aku akan datang ke Hong Kong untuk menjemputmu pulang dan kita menikah,” begitu pesan Arya kepada Indah melalui situs jejaring sosial Facebook. Ya, Arya dan Indah memang saling kenal di jejaring yang ditemukan oleh seorang mahasiswa Harvard bernama Mark Zuckerberg ini. Sejak ditemukan enam tahun lalu, Facebook telah digunakan ratusan juta orang di dunia dan dari hari ke hari semakin digandrungi orang saja. Bahkan kalau sampai tidak dapat mengendalikan diri, bisa ketagihan dan fatal akibatnya.

Bayangkan saja, kita bisa dengan mudah mencari kawan lama, saudara dan lain-lain. Berbagai fasilitas juga ada di situ. Dari sekedar membuat status, komentar bebas, memposting tulisan untuk di-share dengan kawan yang lain, game, chat dan sebagainya. Pokoknya dunia serasa benar-benar tak selebar daun kelor. Demikian-orang biasa menyebutnya. Namun harus hati-hati juga, karena tidak menutup kemungkinan orang akan memanfaatkan situs tersebut untuk hal-hal negative.

Sekitar pukul sebelas malam, pekerjaan Indah telah selesai. Seperti biasa dia langsung masuk kamar, mengunci pintu dan menyalakan laptop. Itu memang sudah menjadi kebiasaan Indah saban malam. Seperti biasanya pula, Facebook adalah website pertama yang dia kunjungi, kemudian setelah itu baru kompas atau pun situs berita lainnya. Ada sepuluh pesan yang masuk dalam inbox nya dan salah satunya adalah pesan dari Arya. Dia kaget bukan kepalang. Matanya yang agak sipit mendadak terbelalak lebar membentuk bola yang sangat besar dan dahinya berkerut sangat rapat.

Ia terpaku sejenak. Pikirannya menerawang entah ke mana. Perlahan matanya menatap seluruh isi ruang kamarnya yang berukuran 5 x 5 meter persegi itu. Bisa dibilang agak lumayan nyaman memang untuk ukuran kamar seorang pembantu di Hong Kong. Di situ terdapat sebuah ranjang tingkat, lemari pakaian yang cukup besar, rak buku serta meja belajar lengkap dengan lampu duduknya. Majikan Indah memang tergolong baik, minimal lebih bisa menghargai pembantunya. Di Hong Kong, berapa puluh ribu buruh migrant Indonesia yang dengan terpaksa harus tidur di ruang tamu, di gudang atau bahkan di dapur karena majikannya tidak memberikan fasilitas ruang tidur yang layak? Ah, memang keterlaluan majikan seperti itu.

Indah terus menatap seisi ruangan. Resah dan gelisah semakin menguasai dirinya. Konsentrasi pun buyar tidak karuan. Jangankan untuk menulis puisi, cerpen atau pun arikel dan lain-lain, membaca berita saja dia sudah kalang kabut. Dia bingung antara iya dan tidak sehubungan dengan ajakan Arya untuk menikah. Satu sisi ia masih trauma dengan kekasihnya yang dulu. Ketika mendekati hari H pernikahan, kekasihnya yang bernama Angga tersebut meninggal akibat kecelakaan sepeda motor. Karena itu dia lama tidak berpacaran lagi, bahkan sempat berfikir sebaiknya tidak usah berumah tangga.

Namun kehadiran Arya ini ternyata sedikit mampu mengkoyakkan pikirannya. Paling tidak, ia kembali berfikir untuk berumah tangga di usianya yang kini telah lebih dari 35 tahun. Orang-orang di kampungnya menyebutnya perawan tua, namun ia sama sekali tak mempedulikannya. “Yang menikah kan aku, bukannya mereka. Bodoh amat dengan omongan orang,” ucap Indah sembari memandang wajah Arya di laptopnya.

Arya adalah seorang pengusaha pertambangan kaya di Cilacap. Usianya setahun lebih tua dari Indah. Kulitnya tergolong putih bersih untuk ukuran orang Indonesia yang notabene berkulit sawo matang. Matanya agak sipit, hidung lumayan mancung, tinggi badan sekitar 174 cm, dengan rambut lurus. Meskipun kaya raya, ia tetap rendah hati dan mempunyai sifat dermawan. Ia juga disukai banyak orang
karena keramahan dan kebaikannya pada siapa pun. Dan yang paling penting ia tidak pernah membeda-bedakan antara yang miskin dan kaya. Baginya, semua sama. Sama-sama mahluk ciptaan Tuhan yang harus dikasihi dan disayangi.

Sebelum berprofesi sebagai pengusaha, Arya dulu adalah wartawan di sebuah koran di Solo. Namun karena bapaknya meninggal, maka mau tidak mau dia lah yang harus melanjutkan bisnis keluarganya. Ia anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak perempuannya telah berkeluarga dan mempuanyai beberapa perusahaan di Surabaya. Sedangkan kakak laki-lakinya menikah dengan orang Australia dan menetap di sana. Kontan saja hanya dia yang kini harus sibuk mencari kehidupan sendiri. Dia tinggal di sebuah rumah besar peninggalan bapaknya bersama seorang sopir yang telah ikut bekerja dengan keluarganya selama duapuluh tahun. Tak heran jika mereka sangat akrab, bahkan sudah seperti keluarga sendiri.

Malam semakin larut, jarum jam menunjukkan pukul duabelas dini hari. Indah bergerak merentangkan kedua tangannya sembari menarik nafas panjang. Tubuhnya yang agak kurus dan kecil itu dia gerak-gerakkan ke kanan dan ke kiri.

Tak lama kemudian, matanya kembali menuju ke laptop. “Ah, bagaimana aku menjawabnya ya. Satu sisi aku suka juga ma dia. Tapi satu sisi lagi aku kok agak ragu. Ini kan cuma dunia maya. Orang bisa jadi apa aja di sini. Tapi, ah entahlah,” gumamnya.

Kendati demikian, ia terus berusaha mencari jawaban pada dirinya sendiri. Setelah agak lama bermain dengan perasaan dan fikiran, akhirnya ia menemukan jawaban yang tepat.

“Arya, makasih atas ajakanmu. Tapi ini dunia maya dan aku tak tahu kamu serius atau tidak. Dan aku hanya berfikiran kalau kamu benar-benar datang menemuiku, berarti kamu serius. Tetapi, kalau kamu hanya ngomong doang berarti kamu sama dengan laki-laki hidung belang yang pernah kutemui. Ok Arya, kutunggu kedatanganmu,” demikian balasan pesan yang ditulis Indah untuk Arya. Ada rasa puas setelah membalas pesan tersebut. Beberapa menit kemudian, ia matikan laptop dan beranjak tidur.

Sementara itu di seberang sana, Arya baru saja membuka laptop dan Facebook juga yang menjadi sasaran utama. Dia pun tak sabar membuka pesan yang dikirim oleh Indah yang dia pastikan sudah dikirim. Dia tersenyum simpul. Ada guratan bahagia luar biasa terpancar di wajahnya. Pembawaannya yang kalem itu memang menambah kewibawaannya. Tanpa pikir panjang lagi, segera dia balas pesan Indah. “Indah manis, baiklah. Akan kubuktikan kesungguhanku. Tunggu ya jelita hatiku,” tulis Arya dalam pesannya kepada Indah.

Arya memang suka menggunakan bahasa-bahasa indah dalam menulis pesan. Bukan karena suka menggombal, tapi karena dia menyukai sastra dan hal itu sudah sangat biasa baginya. Indah pun sangat memahami hal itu. Apalagi mereka berdua memang suka diskusi tentang tulisan. Indah sendiri suka menulis puisi, cerpen, atau pun artikel-artikel tentang kondisi buruh migrant Indonesia di Hong Kong dan dimuat di media lokal berbahasa Indonesia. Tak heran jika mereka berdua sangat cocok dan selalu nyambung dalam berbicara.

Demi persiapan kedatangannya ke Hong Kong, Arya mulai membeli cincin kawin, serta oleh-oleh untuk Indah. Dari mulai baju hingga makanan kecil kesukaan Indah. Hari itu juga Arya memesan tiket pesawat tanggal 31 Desember. Ya, Arya memang merencakan tanggal tersebut datang ke Hong Kong dan pas tahun baru bisa menemui Indah karena hari itu adalah libur umum dan dipastikan Indah juga libur.

Hari demi hari mereka lalui dengan penuh suka cita. Arya lebih semangat bekerja karena merasa sebentar lagi mempunyai tanggungan istri jika telah menjemput Indah pulang nanti. Begitu pula dengan Indah. Hatinya selalu berbunga-bunga setiap waktu. Tidak munafik kawan, dia juga membutuhkan perhatian serta belaian kasih sayang dari lawan jenisnya.

Waktu berjalan begitu lambat karena mereka berdua sama-sama dalam penantian. Seperti keong yang berjalan sangat pelan dan begitu lah gambaran waktu yang mereka tunggu. Menunggu memang pekerjaan paling membosankan.

Di Hong Kong, Indah telah membayangkan sosok Arya yang gagah, penuh perhatian dan sayang padanya. Begitu pula Arya. Bayangan wajah manis Indah tak penah lepas sedikit pun dari benaknya. Bahkan dia juga membayangkan jalan-jalan di Victoria Park, sebuah taman yang terkenal sebagai tempat mangkal buruh migrant Indonesia. Ah, impian-impian itu semakin lekat di mata.

Hari berganti dan tiga minggu lagi Arya terbang menemui Indah. Namun tiba-tiba dia merasakan ada yang aneh dengan kondisi tubuhnya. Belakangan dia jadi susah makan dan cepat sekali lelah. Namun dia tak menghiraukannya. Dia beranggapan mungkin hanya kecapekan biasa karena belakangan dia sangat sibuk dengan pekerjaannya. Namun lama-lama semakin menjadi. Bukan hanya gejala susah makan dan cepat lelah saja yang dialami, tapi juga penurunan berat badan yang sangat drastris. Dari berat badannya yang 70 kg, turun menjadi 62 kg. Benar-benar perubahan yang sangat drastis dalam waktu seminggu.

Atas saran sopirnya, akhirnya Arya memutuskan untuk periksa ke dokter. Alangkah kagetnya dia. Dari hasil rontgen dan pemeriksaan lain, Arya menderita sakit kanker lambung yang lumayan parah. Menurut diagnosa dokter, Helicobacter Pylory, yakni kuman yang berperan dalam kanker lambung ini telah menyerang hebat lambungnya.

Arya lemas seketika saat mendengar pernyataan dokter tentang penyakitnya. Mau tidak mau dia harus opname. Pikiran takut mati dan sebagainya mulai menggrogoti jiwanya. “Ya Tuhan, almarhum bapakku meninggal karena penyakit ganas ini. Bagaimana dengan aku? Oh Tuhan, aku harus bertemu Indah dua minggu lagi. Sembuhkan aku, Tuhan,” pintanya. Meski demikian dia tidak mau mengabarkan sakitnya kepada Indah, karena tidak mau Indah menjadi sedih.

Tanpa pikir panjang lagi, Pak Darman, sopir setianya itu membawanya ke Rumah Sakit Dr. Karyadi Semarang. Dengan harapan, di Rumah Sakit terbesar dengan fasilitas terlengkap di ibukota Jawa Tengah tersebut, Arya benar-benar mendapat perawatan intensif agar segera sembuh.

Detik demi detik berjalan, menit demi menit berganti, jam demi jam berlalu hingga hari ke hari. Kondisi Arya semakin memburuk. Badannya semakin kurus, matanya terlihat sangat cekung, kepalanya suka pusing dan jika tak tahan dia tak sadarkan diri hingga dua hari.

Sementara itu, Indah mulai khawatir. Sudah seminggu Arya tidak mengirim kabar untuknya. Beberapa pesan yang dia kirim juga belum ada balasan. Dia coba mengirim pesan kembali. “Arya, baik-baik kah kamu di sana? Kok gak kayak biasanya kamu gak kirim kabar lama banget kayak gini. Gak tahu kenapa, tiba-tiba pikiranku jadi gak enak banget. Setelah kamu baca pesanku ini, tolong kamu balas ya,” tulis Indah dalam pesan di Facebook untuk Arya.

Arya yang malam itu juga On Line seketika membuka pesan Indah. Arya memang tinggal di ruang Very Important Person (VIP), sehingga dia bisa membuka laptop. Meskipun dokter melarangnya, namun dia tetap melakukan secara sembunyi-sembunyi. Karena dia berkomunikasi dengan Indah hanya melalui Facebook saja. Mereka berfikir, sebentar lagi bertemu, sehingga sebaiknya tidak perlu berkomunikasi lewat telpon. Nanti saja setelah bertemu langsung, rasanya pasti lebih surprise dan lebih berkesan tentunya.

Malam itu juga, Arya memberanikan diri untuk menyapa Indah melalui chat. “Met malem sayang,” sapa Arya. Indah terkejut waktu melihat Arya menyapanya di ruang chat.

“Malam juga Arya. Pa kabar, kenapa lama sekali kamu gak ngasih kabar ke aku? Pikiranku gak enak banget,” Indah memberondong Arya dengan berbagai macam pertanyaan.

“Indah manis, maafkan aku ya. Aku sakit sudah hampir dua minggu. Makanya aku nggak ngabarin kamu. Aku gak mau kamu sedih,” jawab Arya.

“Kamu sakit apa Arya. Tolong ceritalah ke aku. Berarti benar firasatku. Pikiranku belakangan ini nggak enak banget. Rupanya kamu sakit. Sakit apa Arya?,” Indah bertanya penasaran. Dia menjadi panik bukan main. Tiba-tiba saja pikirannya melayang pada kisah masa lalu bersama kekasihnya yang meninggal. Dia benar-benar dicekam ketakutan yang luar biasa, kalau-kalau cintanya akan kandas di tengah jalan oleh maut lagi.

“Indah, kamu jangan kaget ya. Aku sakit kanker lambung dan sudah parah. Kata dokter, harapanku untuk bisa bertahan hidup sangat tipis,” jelas Arya yang sambil menahan tangis saat menulis.

Air mata Indah jatuh bercucuran membasahi pipinya. Ketakutannya semakin menjadi dan bayangannya untuk bisa bertemu Arya rasanya semakin pudar. Dia menangis sesenggukan di depan laptop sambil memandang foto Arya. Dadanya terasa sangat sesak. Sungguh tak terbayangkan olehnya kalau Arya mempunyai penyakit seganas itu.

Sambil terus menangis, dia melanjutkan obrolannya dengan Arya. Meskipun dia pesimis bahwa Arya akan sembuh, namun dia tetap berusaha memberikan semangat kepada Arya agar mempunyai semangat hidup. Karena itu juga berpengaruh besar bagi kesembuhan si pasien. Meskipun tidak bisa sembuh total, minimal bisa membuatnya bertahan hidup lebih lama.

“Arya, kamu gak boleh pesimis. Kamu harus yakin bahwa kamu pasti sembuh dan sebentar lagi kita akan bertemu. Kamu akan menjemputku pulang bukan,” Indah berusaha menyemangati Arya.

“Manis, kamu minta kenang-kenangan apa dariku? Mumpung masih ada waktu. Kamu bilang saja, nanti akan aku minta Pak Darman untuk membeli dan memberikannya padamu. Sepertinya hari-hariku semakin pendek sayang,” tulis Arya yang juga sambil menangis bukan kepalang.

Tangis Indah semakin menjadi ketika membaca tulisan tersebut. Lagi-lagi dia berusaha menghibur Arya.

“Kamu nggak boleh bicara gitu. Kamu harus yakin akan sembuh. Aku gak pengen apa-apa Arya. Aku cuma pengen kamu sembuh dan kita bisa jumpa di tahun baru nanti,” hiburnya.

“Kamu nggak usah nyengeng-nyenengin atiku manis. Aku tahu kok hidupku gak lama lagi. Dokter sudah memvonisku bahwa penyakitku ini sudah terlalu akut. Untuk operasi saja rasanya sudah tak mungkin,” tulis Arya yang semakin pesimis dengan penyakitnya itu.
Dada Indah semakin sesak membaca tulisan-tulisan Arya. Dia terus menangis sejadi-jadinya. Belum sempat dia membalas tulisan Arya, laki-laki pujaannya itu kembali menulis.

“Sayang, aku kedinginan. Aku ingin keluar melihat bintang dan menikmati angin malam Mungkin ini adalah malam terakhirku. Besok aku minta pulang saja ke Solo, di rumah paman. Aku sudah tak mungkin bisa sembuh. Kalau pun bisa, itu pun gak bertahan lama. Aku gak mau setelah kita menikah nanti, kamu tiba-tiba cepat menjanda. Percuma aku di Rumah Sakit terus. Besok pagi kalau aku masih bisa bernafas, aku akan telpon kamu. Tapi kalau aku gak menelpon, berarti aku telah pergi jauh. Maafkan aku ya sayang,” Arya menulis panjang lebar dan setelah itu tiba-tiba dia off dengan sendirinya karena jaringan internet yang agaknya kurang bagus.

Tangisan Indah sudah tak bersuara lagi memebaca rentetan kalimat Arya. Dari bahasanya, memang seperti orang yang sudah mau meninggal saja.

Waktu menunjukkan pukul dua dini hari. Indah berusaha menenangkan dirinya sendiri dengan cara berdo’a. Dia berusaha memejamkan mata, namun sungguh sulit. Alhasil, dia pun tidak tidur sampai pagi. Dia meneguk segelas kopi agar tidak ngantuk dalam bekerja. Tapi masih untung karena majikannya sangat baik dan keduanya selalu berangkat kerja saban hari. Sementara kedua anak asuhannya juga ke sekolah setiap Senin sampai Jum’at. Sehingga setelah pekerjaannya selesai, dia bisa tidur barang setengah atau satu jam.

Setelah mengantar anak sekolah, HP tak pernah lepas dari genggaman tangannya. Sering dia lihat kalau-kalau ada SMS atau telpon dari Arya.

“Ya Tuhan, sudah jam sebelas siang. Berarti di Indo jam sepuluh pagi. Kenapa belum juga ada telpon darinya. Atau jangan-jangan…Oh tidak! Aku tidak boleh berfikiran buruk. Aku harus yakin kalau Arya akan sembuh dan tahun baru nanti akan menemuiku,” gumamnya sambil mondar mandir di ruang tamu sembari kedua tangannya saling meremas-remas.

Sementara itu, Arya dibawa pulang oleh sopirnya ke rumah Solo, di tempat pamannya. Dia benar-benar putus asa, menyerah dengan penyakitnya yang semakin hari semakin mnggerogoti raganya. Badannya semakin kurus gak karuan, matanya semakin cekung dan kepalanya gundul. Lantaran beberapa hari yang lalu, dokter berencana mengoperasi dia tapi ternyata kondisi fisiknya tidak memungkinkan. Dia pulang didampingi kakak perempuannya yang datang dari Surabaya beberapa waktu lalu.

“Mbak, kalau aku meninggal nanti, tolong jenazahku jangan dikubur ya. Tolong sumbangkan ke Undip (Universitas Diponegoro), agar dipakai praktek oleh anak-anak fakultas kedokteran,” pinta Arya dengan terbata-bata kepada kakak perempuannya di sepanjang perjalanan menuju Solo. Arya memang lulusan Undip tapi jurusan komunikasi jurnalistik.

“Arya, kamu ini jangan mikir macem-macem tho. Kamu harus yakin bahwa kamu pasti sembuh,” jawab kakaknya sembari menyeka air mata menahan kepedihan hati.

“Mbak, aku menyimpan sebuah cincin yang akan kuberikan pada kekasihku di Hong Kong. Cincin itu aku titipkan pada Pak Darman. Jika aku telah pergi nanti, tolong mbak hubungi dia dan jadilah saudara dengannya. Dia gadis yang sangat baik mbak,” pesan Arya dengan nada sangat pelan. Kakaknya tak dapat berkata-kata lagi. Kali ini tangisnya benar-benar membuncah. Bagaimana tidak, Arya adalah anak bungsu dan mereka jarang sekali bertemu muka kecuali lebaran. Semua pasti berkumpul, bersama-sama merayakan hari kemenangan tersebut.

Tak lama kemudian, akhirnya mereka sampai juga di tempat tujuan. Arya dalam kondisi tak sadarkan diri dan langsung dibaringkan di kamar yang telah disediakan oleh pamannya. Dari hari ke hari kondisi Arya semakin tak menentu. Dia sudah tak bisa diajak bicara lagi. Saudaranya yang di Australia pun tlah datang. Mereka semua tlah berpasrah. Kalau memang Tuhan hendak mengambilnya pun, mereka telah ikhlas. Karena melihat kondisi Arya, mereka sudah tak tega. Sebenarnya kalau saja Arya mempunyai semangat hidup sedikit saja, mungkin akan lebih bisa memperpanjang usianya. Namun trauma akan bapaknya yang juga meninggal karena penyakit yang sama, membuatnya putus asa.

Sementara itu, Indah sendiri juga mulai pasrah setelah seminggu sama sekali tidak ada kabar tentang Arya. Bukannya mengharap yang jelek-jelek, tapi dia juga harus siap menerima kenyataan seburuk apapun. Termasuk, jika Arya ternyata meninggal karena kanker lambung itu. Dia berusaha membesarkan hati, bahwa apapun yang diberikan oleh Tuhan pasti lah yang terbaik. Meskipun terkadang itu pahit dirasakan.
Pagi itu hari Sabtu, 30 Desember 2008, langit nampak gelap. Tak seperti biasanya, burung-burug hitam berkeliaran di atas rumah paman Arya. Mereka menari dan menyanyi sesukanya. Sepertinya membawa sebuah berita duka. Ya, Arya telah berpulang. Pak Darman, segera mengabari Indah melalui pesan singkat di HP.

Dengan tangan gemetar, Indah membuka perlahan SMS yang baru saja masuk. “Mbk indah yg baik, kt mnsia hny bs mrncnkan.tp sma tuhanlah yg mnntukan.mas arya tlh dipnnggil olehNya.yg tbh dan sbr ya mbk,”begitu bunyi SMS yang diterima Indah pagi itu. “Innalillahi wainna illaihiroji’un,” ucap Indah sambil mengelus dadanya. Hampir tak ada lagi air mata menetes. Karena semuanya telah kering bersama waktu yang terus memburu. Dia benar-benar ikhlas, meski separo dunianya kini menjadi gelap.

Arya telah pergi berlayar. Impian serta harapan telah musnah. Tahun baru pun tinggal impian. Ya, hanya impian! Indah tetap beraktifitas seperti biasanya. Namun kisahnya dengan Arya rupanya kembali menutup hatinya dan trauma itu kembali datang menghantam. Dua kali sudah maut memisahkan cintanya. Dia pun berniat untuk tidak menikah dan memilih memungut anak asuh saja setelah pulang ke Indonesia. Bukan kah itu juga sama dengan berbagi kasih dan juga cinta?


Tsz. Wan Shan, 28 Mei 2010


Catatan: Maaf,masih belajar kawan-kawan. Dan aku menyadari cerpen ini masih sangat jauh dari "BAIK". Jadi Mohon kritik dan sarannya ya. Terimakasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar